Muharam dan Tufan Al-Aqsha: Momentum Membangkitkan Kesadaran Politik dan Persatuan Umat Islam

Muharam dalam kalender Hijriah bukan sekadar penanda pergantian tahun, melainkan memiliki signifikansi historis dan spiritual yang mendalam bagi umat Islam.
Peristiwa hijrah menjadi titik balik transformasi umat Islam menuju pembentukan masyarakat dan institusi politik Islam. Dalam konteks kontemporer, momentum Muharam relevan untuk merenungi dinamika geopolitik global, terutama pasca-peristiwa Tufan Al-Aqsha dan konflik Iran-Israel.
Hijrah: Transformasi Sistemik Menuju Daulah Islam
Hijrah Rasulullah ﷺ bukan hanya perpindahan geografis, tetapi juga transformasi sistemik dari masyarakat jahiliyah menuju masyarakat Islam yang terorganisir. Peristiwa ini menandai fase baru perjuangan Islam dengan tiga pilar utama; pertama, aspek spiritual berupa pemurnian akidah dan ibadah sebagai fondasi keimanan. Kedua, aspek sosial yaitu pembentukan komunitas berbasis ikatan akidah. Ketiga, aspek politik ditandai dengan pendirian institusi negara Islam.
Muharam, sebagai bulan proklamasi Daulah Islam di Madinah, menjadi momen strategis membangun kesadaran kolektif dan kekuatan umat. Dalam konteks kekinian, peristiwa seperti Tufan Al-Aqsha dan konflik Iran-Israel-AS menegaskan urgensi penegakan Khilafah dan jihad fi sabilillah sebagai solusi syar’i terhadap kezaliman global.
Menurut An-Nabhani (1953), konflik geopolitik, seperti sengketa Palestina-Israel, bukanlah masalah teritorial, tetapi pertarungan ideologis antara Islam dan Zionis yang ditopang penuh oleh adidaya kapitalisme.
Tufan Al-Aqsha: Pemicu Kesadaran Global
Peristiwa Tufan Al-Aqsha pada 7 Oktober 2023 mengguncang dinamika politik global. Operasi pejuang Palestina terhadap wilayah vital entitas Zionis merupakan respons terhadap penghinaan terhadap kesucian Masjidil Aqsa. Serangan ini berhasil menggeser opini global, meruntuhkan mitos kekuatan Israel yang selama ini digambarkan tak terkalahkan. Ketangguhan rakyat Gaza menjadi simbol perlawanan yang menginspirasi dunia. Namun, respons Israel terhadap operasi tersebut sangat brutal.
Menurut laporan UNRWA per Juli 2025, lebih dari 59.600 jiwa telah syahid. Infrastruktur Gaza hancur, menciptakan krisis kemanusiaan yang parah. Tindakan Israel ini, yang diklasifikasi sebagai genosida oleh Al Jazeera (2024) dan Human Rights Watch (2024), memicu simpati global dan menggerakkan berbagai elemen masyarakat internasional untuk membela Palestina.
Tufan Al-Aqsha menjadi titik balik untuk menyuarakan kezaliman yang selama ini dilindungi oleh AS yang selalu menggembargemborkan HAM, tatanan damai dalam hukum internasional. Namun mandul dalam menyolusi kekejian yang menimpa Palestina. Publik dunia sudah mulai muak dengan “mantra-mantra” dan narasi zionis dan AS yang selalu berstandar ganda. Maka peluang menghadirkan solusi syar’i, seperti penegakan Khilafah, guna mengatasi ketidakadilan global menjadi semakin lebar.
Konflik Iran-Israel-AS: Episode Skema Hegemoni Global
Perang selama 12 hari antara Iran dan Israel pada Juni 2025, yang didukung penuh oleh Amerika Serikat, mengungkap realitas geopolitik yang kompleks. Serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan, yang dilakukan dengan presisi tinggi menggunakan senjata buatan AS, menunjukkan koordinasi yang matang. Pernyataan Trump yang memuji serangan Israel sebagai “sempurna” dan memprediksi “perdamaian” dengan Iran memperkuat dugaan adanya skenario terencana (Haaretz, 2025; New York Times, 2025).
Keanehan lain terlihat dari serangan misil Iran ke Israel. Dari 200 misil yang diluncurkan, tidak ada korban jiwa di pihak Israel, seolah-olah target telah dikosongkan terlebih dahulu. Hal ini kontras dengan serangan Iran terhadap mujahidin Suriah, yang menewaskan lebih dari 200 orang dalam sekali serang. Pernyataan Trump yang mengucapkan terima kasih kepada Ali Khamenei atas “jasanya” menambah kecurigaan bahwa Iran telah berkoordinasi dengan AS dan Israel (New York Times, 2025).
Tragisnya, selama konflik ini, 870 warga Palestina di Gaza syahid akibat bombardir Israel, tanpa satupun klausul gencatan senjata yang mengakomodasi nasib Palestina. Sikap Iran ini kontras dengan solidaritas negara non-Muslim seperti Irlandia dan Afrika Selatan, yang berani menyeret Perdana Menteri Israel ke pengadilan internasional atas tuduhan kejahatan perang. Konflik ini juga menyingkap kepentingan industri perang AS, dengan belanja militer global mencapai $2,718 triliun pada 2024, di mana AS menyumbang 37% (SIPRI, 2024). Konflik regional menjadi alat untuk memasarkan senjata AS, memperkuat hegemoni globalnya.Menuju Persatuan dan Kesadaran Politik Umat
Realitas geopolitik ini menuntut umat Islam untuk bergerak melampaui respons emosional atau aksi kemanusiaan semata. Kesadaran politik berbasis syariat harus menjadi landasan perjuangan untuk membebaskan Palestina dan negeri Muslim lainnya dari hegemoni Barat. Pengkhianatan rezim-rezim Muslim, yang membiarkan pesawat pembom Israel melintas tanpa perlawanan, menunjukkan ketidakmampuan mereka sebagai pelindung umat.