Tarif Bukan Sekadar Angka: Ketika Negara Dijual atas Nama Kepentingan Oligarki

Tarif 19% yang diberlakukan untuk produk tertentu mungkin tampak sebagai kebijakan ekonomi biasa. Namun, di balik angka itu tersembunyi realitas yang menyesakkan dada: negara ini sedang dijual, rakyat dikorbankan, dan keberpihakan rezim sedang diuji.
Ini bukan semata tentang bea masuk atau penyesuaian pajak, tapi tentang siapa yang dilindungi: rakyat kecil atau para pemilik modal raksasa? Kenaikan tarif bisa memukul pelaku UMKM, membuat harga barang naik, dan menurunkan daya beli masyarakat. Alih-alih memperkuat perekonomian nasional, kebijakan ini bisa membuat rakyat makin tercekik di tengah inflasi dan stagnasi penghasilan.
Kebijakan Ala Trump, tapi Salah Sasaran
Jika kita cermati, kebijakan tarif tinggi ini mengingatkan pada gaya Presiden Donald Trump di AS saat memberlakukan tarif tinggi untuk produk impor, khususnya dari Tiongkok. Namun bedanya, Trump melakukannya dengan dalih melindungi industri dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja di Amerika.
Lalu kita? Apakah tarif 19% ini benar-benar demi membela produk lokal? Atau sekadar kebijakan tambal sulam untuk menutupi defisit, memperbesar pendapatan negara, tapi tetap membiarkan kekayaan nasional dijarah investor asing?
Jika benar niatnya nasionalisme ekonomi, maka pertanyaannya: di mana perlindungan untuk petani kita? Nelayan kita? Pedagang kecil kita? Mengapa mereka tetap merugi, terpinggirkan oleh produk impor murah yang justru merajalela karena perjanjian dagang yang timpang?
Rakyat Dipersulit, Oligarki Dimanjakan
Tarif ini menjadi bukti bahwa negara lebih berpihak kepada kepentingan segelintir elite ketimbang mayoritas rakyat. Rakyat diminta bayar lebih mahal, sementara konglomerat tetap nyaman dapat insentif dan keringanan.
Bukankah ini bentuk baru kolonialisme ekonomi? Di mana negara menjadi perantara sah bagi penjajahan gaya baru, rakyat dijadikan pasar, sumber daya dijual murah, dan pengambilan keputusan diatur oleh kekuatan uang, bukan keadilan.
Tarif Itu Bukan Sekadar Angka
Tarif 19% bukan hanya urusan ekonomi teknokratis. Itu soal nasib rakyat, daya saing bangsa, dan arah keberpihakan penguasa.
Ketika tarif justru mempersulit hidup rakyat, maka jelas ini bukan keberpihakan, ini pengkhianatan. Dan ketika suara kritis dimatikan, maka jelas ini bukan negara demokrasi, tapi negara boneka oligarki.
Maka jangan bangga dengan angka. Angka bisa disulap, tapi fakta tak bisa dibohongi: harga makin naik, beban rakyat makin berat, dan peluang hidup layak makin sempit.
Penutup
Negeri ini tak butuh kosmetik kebijakan. Ia butuh pemimpin yang jujur, adil, dan berpihak pada umat. Bukan pemimpin hasil rekayasa, bukan penguasa yang hanya jadi komprador modal asing.
Saatnya rakyat sadar negara ini sedang dijual atas nama pembangunan. Jangan diam. Sebab diam dalam kezaliman, sama saja dengan membiarkannya menang.[]
Selvi Sri Wahyuni, M.Pd.