INTERNASIONAL

Seruan dan Negosiasi Tidak Mempan untuk Israel

Daoud Kuttab, Jurnalis Palestina.

Pada 17 Juli, tentara Israel membom satu-satunya gereja Katolik di Gaza, menewaskan tiga orang dan melukai sedikitnya 10 lainnya. Pastor paroki, Gabriele Romanelli, yang dulu hampir setiap hari menelepon mendiang Paus Fransiskus, termasuk di antara yang terluka.

Setelah serangan itu, muncul berbagai pernyataan kecaman. Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni menyebutnya “tidak dapat diterima”. Paus Leo mengatakan ia “sangat berduka” atas kejadian tersebut – sebuah pernyataan yang oleh banyak pihak dinilai “samar” dan “pengecut”.

Pemerintah Israel dengan cepat menyatakan bahwa mereka “menyesalkan” serangan tersebut.

Di tengah kemarahan global, Latin Patriarkat Yerusalem berhasil bernegosiasi agar pejabat gereja dapat mengunjungi komunitas Kristen, mengirimkan sejumlah terbatas makanan dan obat-obatan kepada keluarga Kristen maupun Muslim, serta mengevakuasi sebagian korban luka untuk perawatan di luar Gaza.

Tindakan-tindakan kemanusiaan ini, meski disambut baik oleh mereka yang sangat membutuhkan di Gaza, sekaligus menjadi tanda lain kegagalan internasional. Mengapa pengiriman makanan, air, dan obat harus “diperoleh” melalui negosiasi? Mengapa hak-hak dasar yang dijamin hukum internasional tunduk pada tawar-menawar politik?

Rakyat Palestina sangat menghargai upaya para pemimpin gereja. Tindakan mereka mencerminkan belas kasih dan kejernihan moral. Namun langkah seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi. Dalam hukum humaniter internasional, kekuatan pendudukan memiliki kewajiban yang mengikat terhadap rakyat yang berada di bawah kekuasaannya. Memastikan akses terhadap makanan, air, obat-obatan, dan layanan penting bukanlah amal sukarela – melainkan kewajiban hukum.

Konvensi Jenewa Keempat 1949 dan Peraturan Den Haag 1907 dengan jelas menyatakan bahwa warga sipil di wilayah pendudukan harus dilindungi dan disediakan layanan esensial, terlebih ketika kekuatan pendudukan mengontrol akses ke perbatasan, infrastruktur, dan sumber daya penopang hidup.

Menghalangi atau menunda bantuan bukan hanya tindakan tidak manusiawi – itu merupakan kejahatan perang.

Hukum internasional juga melarang kekuatan pendudukan memindahkan secara paksa penduduk setempat atau menempatkan warganya sendiri di tanah yang diduduki – praktik yang terus dilakukan Israel di Gaza dan Tepi Barat tanpa sanksi. Pihak pendudukan wajib memastikan akses kemanusiaan yang tak terputus, bebas dari penundaan, syarat-syarat politik, atau barter koersif.

Israel gagal mematuhi semua ketentuan ini. Namun alih-alih menghadapi konsekuensi atas penggunaan hukuman kolektif, taktik kelaparan, dan serangan terhadap infrastruktur sipil – gereja, rumah sakit, toko roti, sekolah – Israel justru menerima konsesi dengan imbalan janji akan mematuhi norma hukum paling dasar. “Kesepakatan-kesepakatan” ini kemudian dipoles sebagai “keberhasilan diplomatik” oleh kekuatan-kekuatan yang terlibat di dalamnya.

Dalam sebuah kuliah baru-baru ini di Amman, Duta Besar Uni Eropa untuk Yordania, Pierre-Christophe Chatzisavas, mengungkapkan hal tersebut.

Menurutnya, “diskusi” UE tentang kemungkinan mengambil tindakan atas kegagalan Israel memenuhi ketentuan hak asasi manusia dalam perjanjian kemitraan UE-Israel menghasilkan “tekanan politik yang efektif”. Sebagai akibatnya, Israel “setuju” mengizinkan peningkatan pengiriman makanan dan bantuan, bahan bakar untuk listrik dan desalinasi, perbaikan infrastruktur, pembukaan kembali koridor kemanusiaan melalui Mesir dan Yordania, serta akses bagi pekerja dan pengamat bantuan PBB.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button