OASE

Mencari Ketenangan di Tengah Berisiknya Dunia dan Manusia

Siapa sih, yang tidak ingin hidup tenang? Di balik ambisi manusia terhadap pencapaian dan pengakuan, ada satu kebutuhan mendasar yang selalu dicari, yaitu ketenangan. Namun, mencari ketenangan di zaman ini seperti mencari cahaya lilin di tengah sorotan lampu stadion. Terlalu banyak gangguan yang membuat kita lelah, kehilangan fokus, bahkan kehilangan arah.

Dunia hari ini terlalu bising. Bukan hanya oleh suara kendaraan, iklan digital, atau notifikasi media sosial, tetapi juga oleh ekspektasi, tuntutan, komentar, penilaian, dan obsesi untuk terlihat “sempurna”. Padahal, tidak semua hal yang baik harus berwujud sempurna.

Di tengah kebisingan itu, manusia pun menjadi ikut “berisik”. Bukan hanya suaranya, tetapi pikiran, keluhan, emosi, dan kecemasannya. Bahkan ketika tubuh diam, pikirannya tidak henti berputar. Seperti mesin yang kelelahan tapi tidak pernah berhenti. Padahal, Allah SWT, telah memberikan petunjuk yang meneduhkan, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28).

Ayat ini mengingatkan kita bahwa ketenangan tidak dicapai dengan mematikan kebisingan luar, tetapi dengan menyalakan keteduhan dari dalam. Namun seringnya, kita terjebak dalam keinginan untuk mengontrol semua hal. Seperti mengontrol apa yang orang pikirkan, bagaimana mereka memperlakukan kita, bagaimana dunia seharusnya memperlakukan kita. Inilah sumber dari kelelahan mental yang tidak kunjung reda.

Ada dua jenis hal dalam hidup, yakni yang bisa kita kendalikan, dan yang tidak bisa kita kendalikan. Masalahnya, kita terlalu sibuk mengurusi yang kedua. Akhirnya, kita kehilangan energi untuk memperbaiki yang pertama. Rasulullah Saw, bersabda, “Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan apa yang tidak berguna baginya.” (HR. Tirmidzi).

Ini bukan sekadar ajakan untuk diam, tetapi seruan agar bijak memilah mana yang layak diperhatikan dan mana yang harus dilepas.

Contoh konkretnya terlihat jelas di media sosial. Seseorang bisa merasa hancur hanya karena komentar negatif dari akun yang tidak dikenal. Ia mulai mempertanyakan dirinya, keputusannya, bahkan harga dirinya. Padahal, komentar itu tidak bisa ia kendalikan. Namun perasaannya? Bisa.

Masalah muncul ketika kita menyerahkan kendali hidup pada orang lain. Kita terlalu memusingkan validasi eksternal. Kita lupa bahwa harga diri dibangun dari dalam, bukan dari jumlah like atau pujian yang sementara.

Bahkan dalam konteks hubungan sosial, kita pun sering merasa kecewa karena berharap orang lain memperlakukan kita seperti kita memperlakukan mereka. Namun, bukankah Rasulullah Saw., telah mengingatkan kita untuk tetap berbuat baik, meski balasannya tak sepadan?

Ketika seseorang mulai terlalu keras menuntut kehidupan, tanpa sadar ia menekan dirinya sendiri. Ia ingin semua sesuai rencana, tanpa celah kesalahan. Padahal, hidup memang penuh ketidaksempurnaan. Allah SWT, sendiri berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4).

Kita tidak bisa menghindar dari kepayahan hidup, tetapi kita bisa memilih bagaimana menghadapinya. Tenang bukan berarti tidak ada masalah. Namun tenang berarti tidak membiarkan masalah menguasai hati.

Dalam dunia kerja misalnya, banyak yang merasa cemas karena rekan kerja menyebalkan, atasan tidak menghargai, atau lingkungan yang tidak suportif. Tetapi hal-hal itu tidak sepenuhnya dalam kendali kita. Yang bisa kita kendalikan adalah profesionalisme kita, respons kita, dan pilihan kita untuk tetap waras.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

BACA JUGA
Close
Back to top button