MUHASABAH

Inspirasi dari Perang Tabuk: Berjuang di Tengah Kemarau Iman, Siapa yang Masih Bertahan?

Perang Tabuk adalah panggilan langit yang datang di saat bumi terasa paling berat. Cuaca membakar, perbekalan menipis, jarak begitu jauh, dan ancaman dari Romawi terasa nyata. Tidak ada janji rampasan yang menggiurkan. Tidak ada kemudahan. Tapi justru di titik paling sulit itulah, Allah menyingkap siapa yang benar-benar beriman, dan siapa yang hanya menjadikan Islam sebagai kendaraan kenyamanan.

Tabuk bukan perang fisik semata. Ia adalah ujian kejujuran, kesungguhan, dan kesetiaan pada jalan dakwah. Beberapa sahabat berangkat dengan satu butir kurma untuk sehari. Ada yang saling bergantian menunggang unta. Ada pula yang menangis karena ingin ikut namun tak memiliki kendaraan. Lalu sebagian lain memilih tinggal, mencari-cari alasan agar bisa terhindar dari panas dan lelah.

Hari ini, kita tidak sedang menempuh padang pasir, tapi sedang melintasi kemarau keimanan yang tak kalah dahsyat. Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan. Hedonisme menjadikan dunia sebagai tujuan utama. Media dan sistem menjauhkan umat dari nilai-nilai Islam kaffah. Bahkan sebagian dari kita lebih hafal lirik lagu viral daripada ayat-ayat perjuangan.

Kemarau ini kering. Panas. Menyesakkan. Tapi inilah waktunya iman diuji. Masih adakah yang mau melangkah tanpa panggung? Masih adakah yang tetap berdiri saat banyak yang memilih mundur? Masih adakah yang berbagi walau dirinya sendiri sedang kekurangan?

Perang Tabuk mengajarkan bahwa nilai amal terletak pada niat dan keteguhan. Bahwa keberangkatan tanpa pamrih lebih mulia dari kemenangan yang dirayakan dunia. Para sahabat tidak menunggu kondisi ideal. Mereka tidak menawar jihad dengan “nanti setelah ini…” Mereka tahu bahwa kemuliaan bukan soal hasil, tapi soal keberanian untuk memulai dan bertahan.

Kita pun sedang diuji:
Apakah kita tetap menyuarakan kebenaran meski tak banyak yang mendengar?
Apakah kita tetap mendukung perjuangan Islam meski tidak populer?
Apakah kita tetap mendidik anak-anak dengan nilai Islam saat dunia mendikte kebebasan?
Apakah kita tetap bersedekah, belajar, menguatkan barisan meski tidak diberi tepuk tangan?

Sungguh, di tengah kemarau seperti ini, kita tidak butuh sorakan. Kita hanya butuh keyakinan. Karena sejarah tidak mencatat siapa yang viral, tapi siapa yang bertahan. Siapa yang tetap setia di jalan perjuangan ketika yang lain memilih berhenti.

Kemarau tidak abadi. Akan datang hujan kemenangan. Tapi ia hanya turun kepada mereka yang tetap menyalakan pelita iman di tengah gersang dunia. Maka wahai jiwa yang sedang lelah, jangan menyerah. Tetap melangkah. Jangan padam.

Karena mereka yang bertahan di tengah badai adalah mereka yang layak menyambut fajar Islam yang terang. “Berjuang dalam kemarau itu berat. Tapi merekalah yang akan menyambut musim kemenangan.”

Dan saat itu tiba, langit akan menjadi saksi: bahwa di masa sulit, engkau tidak berpaling. Engkau tetap bertahan.

Kemarau iman tak selalu berakhir cepat. Mungkin kita tak melihat hujan kemenangan esok lusa. Namun, kisah Tabuk menulis tesis sederhana: Allah menilai kualitas, bukan kuantitas; keteguhan, bukan tepuk tangan.

“Jika engkau merasa sendiri di jalan dakwah, ingatlah: pasir Tabuk pernah merekam jejak‑jejak sunyi para sahabat. Langkahmu hari ini bisa jadi lanjutannya.”

Maka wahai jiwa‑jiwa yang masih resah, jadilah pelita kecil walau redup di tengah padang luas. Karena fajar Islam yang terang selalu diawali oleh titik‑titik cahaya keikhlasan. Wallahu a’lam.

Selvi Sri Wahyuni, M.Pd

Artikel Terkait

Back to top button