TEKNOLOGI

Politik Perindustrian: Apakah Prioritas Dunia Islam Industri Permesinan?

Di tengah persaingan global, satu hal yang jarang disadari masyarakat awam adalah kekuatan sebuah negara bukan hanya ditentukan oleh cadangan alam atau jumlah tenaga kerja, tetapi oleh kekuatan industrinya. Lebih jauh lagi, industri permesinan menempati posisi paling strategis dalam rantai pembangunan sebuah bangsa.

Mengapa demikian? Karena mesin adalah “induk” dari semua industri. Tanpa kemampuan memproduksi mesin sendiri, sebuah negara hanya akan menjadi konsumen abadi, bergantung pada produk asing, dan sulit berdiri tegak dalam kemandirian ekonomi maupun pertahanan.

Lihatlah sejarah Eropa dan Jepang. Revolusi industri yang mengubah dunia berawal dari penguasaan teknologi mesin. Jepang pasca Perang Dunia II tidak langsung membuat mobil atau elektronik, mereka terlebih dahulu membangun kemampuan mesin perkakas (machine tools), karena dari situlah lahir industri mobil, pesawat, bahkan robotika.

Sayangnya, banyak negeri Muslim masih sibuk mengekspor bahan mentah seperti minyak, gas, batu bara, atau mineral, kemudian mengimpor kembali produk jadinya dengan harga yang berkali-kali lipat. Kita seolah hanya menjadi penyedia bahan bakar bagi peradaban orang lain. Padahal, Islam pernah menunjukkan bahwa peradaban tidak lahir dari mentalitas konsumen, melainkan dari semangat inovasi dan kemandirian.

Dalam sejarah Islam, kita mengenal ilmuwan seperti Al-Jazari dengan “Kitab fi Ma‘rifat al-Hiyal al-Handasiyyah” (Buku Pengetahuan tentang Alat Mekanik) yang memuat ratusan rancangan mesin otomatis. Di era keemasan peradaban Islam, yakni Khilafah Abbasiyah, umat Islam tidak hanya menjadi pengguna, tapi produsen pengetahuan teknis yang kemudian diadopsi oleh Barat.

Pertanyaannya: mengapa kini umat Islam tertinggal? Salah satu jawabannya adalah politik perindustrian yang tidak berpihak pada kemandirian mesin. Kita terlalu sibuk membangun gedung tinggi dan infrastruktur konsumtif, tetapi melupakan industri pondasi yang menopang semua sektor.

Industri permesinan bukan hanya soal ekonomi, melainkan soal martabat dan kedaulatan. Bayangkan, tanpa kemampuan memproduksi mesin sendiri, bagaimana mungkin dunia Islam berbicara soal pertahanan, pangan, energi terbarukan, atau kesehatan modern? Semuanya bergantung pada kemampuan merancang dan membuat mesin.

Oleh karena itu, politik perindustrian bagi negara-negara Muslim harus diarahkan pada tiga langkah strategis:

Membangun industri permesinan mandiri: Negara memiliki kemampuan untuk membuat suku cadang, alat transportasi, hingga sistem pertahanan.

Mengintegrasikan riset dan industri: Kampus dan pusat penelitian di dunia Islam tidak boleh berhenti pada jurnal, tetapi harus melahirkan prototipe dan produksi nyata.

Kerja sama intra-dunia Islam: Bayangkan jika negara-negara Muslim bergabung dalam konsorsium industri permesinan. Dunia Islam tidak lagi hanya sebagai pasar, tetapi menjadi produsen global.

Allah Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an, yang artinya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi…” (QS. Al-Anfal [8] ayat 60). Maksud kekuatan tersebut tentu bukan hanya kekuatan militer, namun juga kekuatan industri yang menopang kepentingan negara dan kedaulatan umat.

Oleh karena itu, jika dunia Islam ingin kembali mencapai puncak kejayaannya, kita harus berani memprioritaskan industri permesinan. Sebab dari politik perindustrian yang tepat, peradaban Islam kembali akan menjadi harapan umat. []

Andrian Permana, PhD Student in Mechanical Engineering, KFUPM, Saudi Arabia.

Artikel Terkait

Back to top button