Ekonom Paramadina: Noel Alarm Bahaya bagi Prabowo

Jakarta (SI Online) – Kasus penangkapan Emmanuel Ebenezer alias Noel, mantan aktivis ’98 yang menjadi Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), dinilai menjadi alarm bahaya bagi Presiden Prabowo dalam agenda pemberantasan korupsi dan implementasi program-program strategis pemerintah.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan, momentum ini hadir di tengah komitmen Presiden yang selalu menegaskan perang terhadap korupsi di berbagai kesempatan.
“Dalam pidatonya, Presiden kembali menegaskan komitmen memberantas korupsi, bahkan mengancam seluruh jajarannya agar menjauhi perilaku koruptif. Ia sendiri berjanji akan memimpin upaya mengejar koruptor hingga ke Antartika,” kata Wijayanto dalam keterangannya, Ahad (24/08/2025).
Namun, lanjut Wijayanto, kasus Noel justru menunjukkan betapa sulitnya memberantas korupsi. Wijayanto menegaskan, Noel yang seharusnya melindungi kepentingan rakyat malah justru memeras mereka dengan menaikkan tarif sertifikat K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dari Rp275.000 menjadi Rp6 juta per sertifikat.
Alih-alih memperbaiki birokrasi, Noel disebutnya justru meneruskan praktik lama bahkan meminta bagian dari aliran dana korupsi.
“Lebih ironis lagi, praktik tersebut melibatkan ASN hingga pejabat eselon II, dan dilakukan sejak bulan pertama ia menjabat,” ujar Wijayanto. Ia menambahkan, banyak pihak meyakini posisi Wakil Menteri hanya dijadikan batu loncatan untuk melakukan korupsi.
Situasi ini, lanjutnya, tidak berdiri sendiri. Pada saat bersamaan, Kementerian Agama juga tengah diperiksa KPK terkait kuota haji, sementara Kementerian Komunikasi dan Digital ditelisik terkait kasus perlindungan judi online.
“Korupsi telah mengakar, hingga muncul kesan bahwa pemerintah kita telah menjelma menjadi ‘Pemerintahan Wani Piro’: values (nilai-nilai) dibuang, digantikan value (nilai uang). Segalanya serba pragmatis dan transaksional,” jelasnya.
Direktur Program Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu menilai, kondisi ini sangat berisiko bagi Presiden Prabowo, mengingat gaya kepemimpinannya yang identik dengan program masif, berbiaya tinggi, dan berdampak luas dalam waktu singkat. Ia mencontohkan program Makan Bergizi Gratis senilai Rp335 triliun per tahun, Program Kopdes Merah Putih, hingga target pembangunan tiga juta rumah.
“Bagaimana jika terjadi korupsi sistemik? Bagaimana jika masyarakat gagal membayar cicilan KPR bersubsidi? Yakinkah perbankan kita siap menghadapi tsunami kredit macet?,” ungkapnya penuh tanda tanya.
Risiko tersebut, menurutnya, tidak serta merta muncul tahun ini, melainkan mungkin baru terasa pada 2027 atau 2028—saat kondisi ekonomi bisa jadi belum lebih baik dan Indonesia memasuki tahun politik. “Pertanyaannya, apakah Pemerintah dan Presiden sudah mengantisipasi?” kata dia.
Wijayanto kemudian mengingatkan, pemerintah perlu menyesuaikan program dengan kapasitas fiskal dan kemampuan birokrasi agar tidak overstretched.