LAPSUS

Ugi Suharto: Pajak Tidak Boleh Eksploitatif

Jakarta (SI Online) – Menurut Dr. Ugi Suharto, pajak ada dalam sistem keuangan publik Islam, tapi tidak boleh eksploitatif. Pajak harus mempertimbangkan: keadilan, kemampuan rakyat, kemudahan dan efisiensi.

Hal itu dinyatakan Dosen Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) itu dalam Diskusi Aktual INSISTS: ‘Zakat, Wakaf, Infak dan Pajak dalam Peradaban Islam’, di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (25/8/2025).

Menurut Ugi, Islam pernah memimpin peradaban dunia lebih dari 1000 tahun, mempunyai sistem keuangan sendiri. Salah satu bukti adanya sistem keuangan Islam itu adalah adanya kitab-kitab yang membahas tentang sistem keuangan publik. Seperti Imam Abu Yusuf yang menulis kitab ‘al Kharaj’ (pajak pertanahan). Abu Yusuf (wafat 798 M) adalah murid dari Abu Hanifah yang merupakan mazhab terbesar di dunia. Mazhab Abu Hanifah terdapat di Turki, Pakistan, Bangladesh, India dan lain-lain.

Abu Yusuf saat itu menjabat sebagai Qadhi Qudhat (Menteri Kehakiman/Ketua Mahkamah Agung), dimana khalifahnya adalah Harun al Rasyid. Saat itu khalifah menyuruh kepada Abu Yusuf agar membuat buku manual perpajakan, khususnya pajak tentang tanah. Karena tanah atau pertanian saat itu sangat penting kedudukannya dalam negara. Buku ‘al Kharaj’ saat ini masih ada dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris.

Dalam masa peradaban Islam itu ada lagi ulama yang terkenal menulis sistem keuangan publik Islam, yaitu Abu Ubaid al Qasim (wafat 838M). Ia menulis buku berjudul ‘Kitabul Amwal’. Buku ini menjadi kajian disertasi Prof Ugi ketika mengambil studi doktoral di ISTAC, IIUM Malaysia. Yang menarik di buku itu, Abu Ubaid menggabungkan antara fungsi pajak dan zakat. Sumber keuangan publik Islam adalah zakat dan pajak, tapi tidak ada utang negara. Buku yang ditulis Ugi ini sudah tersedia dalam bahasa Indonesia.

“Sekarang ini miris, semakin membangun sebuah negara semakin tinggi utangnya,” terang peneliti senior Insists ini. Negara yang utangnya terbesar di dunia ini dimiliki Amerika. Zaman peradaban Islam yang gemilang itu, tidak ada ada utang negara. “Justru negara itu harus punya tabungan (saving)”. Negara itu harus punya Tabungan untuk mengatasi kemungkinan krisis yang akan dihadapi, seperti dalam kisah Nabi Yusuf.

Zakat mempunyai keistimewaan tersendiri dalam sistem keuangan publik Islam. Pertama, zakat itu berfungsi sebagai ibadah dan merupakan rukun Islam. Sebelum zakat itu difungsikan sebagai keuangan negara, zakat itu adalah bagian dari ibadah yang tidak bisa ditinggalkan. “Zakat tidak boleh dianggap beban,” terang Assoc. Prof Ugi.

Kedua, zakat adalah sumber keuangan sosial. Karena itu zakat boleh diberikan langsung kepada mustahiknya, tidak harus lewat negara.

Ketiga, zakat merupakan sumber keuangan publik/negara. Di tanah air kita ada lembaga Baznas (Badan Amil Zakat Nasional). Potensi zakat di tanah air adalah 327 triliun. Tapi sayangnya yang terkumpul atau aktualisasinya hanyalah 41 triliun.

Keseluruhan dana yang diperlukan untuk membangun Indonesia (RAPBN 2026) adalah 3785,5 triliun. Maka rasio zakat dengan APBN kita hanya 8,6 persen. “Zakat saja tidak cukup membiayai keuangan negara. Itu kalau terkumpul semua 327 triliun,” terang Prof Ugi.

Menurutnya, fungsi pajak itu tetap besar karena zakat semata tidak akan mencukupi untuk membangun negara. Dulupun zaman peradaban Islam juga begitu. Dalam peradaban Islam ada berbagai jenis pajak seperti al kharaj, al ushr, al jizyah dan lain-lain.

Ada perbedaan pajak dengan palak. Palak adalah pungutan ilegal atau liar. Negara (zalim) bisa juga mengadakan palak. Hadits Rasulullah Saw yang terkenal, “Tidak masuk surga si tukang palak (shahibul maksi).” ‘Shahibul maksi’ ini adalah sejenis pajak yang zalim, pajak yang memeras, pajak yang eksploitatif. Negara harus hati-hati dalam memajaki rakyatnya. “Meski pajak diperlukan, pajak harus adil tidak boleh zalim,” terang Prof Ugi.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button