Menguji Kementerian Haji Pertama

Di bawah kubah Istana Negara, Senin, 8 September 2025, Presiden Prabowo Subianto melantik Mochamad Irfan Yusuf—akrab disapa Gus Irfan—sebagai Menteri Haji dan Umrah pertama di Indonesia. Mendampinginya, Dahnil Anzar Simanjuntak dipercaya sebagai wakil menteri.
Portofolio baru ini lahir dari kritik panjang atas tata kelola haji dan umrah yang sering jadi sorotan publik. Dari antrean puluhan tahun hingga travel nakal, kementerian anyar ini mewarisi tumpukan pekerjaan rumah.
Warisan Masalah
Salah satu persoalan paling klasik adalah kuota haji. Tahun 2025, daftar tunggu calon jamaah di beberapa provinsi, seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Barat, sudah menembus lebih dari 30 tahun. Pembagian kuota antar daerah kerap memicu kecemburuan, terlebih ketika jalur khusus—haji plus atau undangan—dinilai lebih mudah menembus Mekah.
Tak kalah pelik adalah administrasi pendaftaran. Sistem daring yang dikelola Kementerian Agama sering jadi celah praktik percaloan. Jamaah lansia yang seharusnya diprioritaskan kerap kalah cepat dengan mereka yang punya akses teknologi atau jaringan travel. “Kalau daftar sekarang, saya berangkatnya entah kapan. Umur saya sudah 70 tahun,” keluh seorang calon jamaah di Padang Panjang, awal Agustus lalu.
Bimbingan dan Pembinaan
Problem berikutnya adalah manasik haji. Di banyak daerah, bimbingan masih sebatas formalitas. Pengajar manasik tak jarang minim kompetensi, sekadar mengulang modul lama tanpa menyesuaikan dengan dinamika terbaru di tanah suci. Jamaah lanjut usia atau penyandang disabilitas sering kali terabaikan.
Di Arab Saudi, keterbatasan pemondokan dan transportasi armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina) menjadi keluhan tahunan. Banyak jamaah harus berjalan jauh dari hotel ke Masjidil Haram. Saat puncak haji, bus yang mengangkut jamaah sering macet berjam-jam, menimbulkan kelelahan bahkan kematian bagi jamaah berusia lanjut.
Soal Kesehatan
Persoalan kesehatan jamaah tak bisa dipandang remeh. Dengan mayoritas jamaah berusia di atas 50 tahun, kebutuhan layanan kesehatan semestinya lebih intensif. Namun klinik-klinik yang disediakan pemerintah di Mekah dan Madinah kerap kewalahan. Vaksinasi pra-keberangkatan pun belum merata, terutama di daerah terpencil. Setiap musim haji, puluhan jamaah Indonesia wafat di tanah suci, sebagian karena penyakit bawaan yang tak tertangani optimal.
Umrah: Ladang Penipuan
Untuk ibadah umrah, masalah paling mencolok adalah penipuan biro perjalanan. Kasus travel “bodong” yang membawa lari uang jamaah berulang kali terjadi. Setiap tahun, ratusan orang terlantar karena keberangkatan dibatalkan sepihak. Harga paket umrah pun kerap melonjak tanpa penjelasan. Di balik layar, lemahnya pengawasan terhadap Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) membuat praktik nakal terus berulang.
Koordinasi Internasional
Sejak lama, diplomasi haji juga menjadi persoalan. Negosiasi dengan Pemerintah Arab Saudi soal kuota tambahan, lokasi pemondokan, hingga standar kesehatan sering kali berjalan alot. Penyesuaian kebijakan Saudi—seperti penerapan visa elektronik dan biometrik—tak jarang membuat jamaah Indonesia kelabakan. Kementerian Haji dan Umrah dituntut piawai bernegosiasi, bukan hanya mengandalkan hubungan antar pejabat.
Dana Haji
Tak kalah krusial adalah pengelolaan dana haji. Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menguasai dana triliunan rupiah hasil setoran jamaah. Selama ini, transparansi pengelolaan dana itu jadi sorotan. Kritik keras datang dari DPR dan organisasi masyarakat yang menuding investasi dana haji rawan konflik kepentingan. “Jangan sampai uang jamaah dipakai untuk eksperimen proyek yang tidak jelas,” kata seorang pengamat keuangan syariah.
Tantangan Gus Irfan dan Dahnil
Di pundak Gus Irfan dan Dahnil Anzar, semua problem ini menanti solusi. Gus Irfan, putra mendiang almarhum Taufiq Kiemas dan Megawati Soekarnoputri, dikenal sebagai figur muda yang punya jaringan luas. Sementara Dahnil Anzar membawa pengalaman politik dan orasi publik yang tajam. Kombinasi keduanya diharapkan menghadirkan energi baru.
Namun tantangan mereka bukan main. Kementerian ini akan diuji dari tiga sisi: manajemen dalam negeri, diplomasi luar negeri, dan pengawasan dana. Transparansi dan teknologi informasi harus jadi kunci. Digitalisasi pendaftaran, integrasi data kesehatan, hingga sistem pengawasan real-time travel umrah bisa memangkas praktik curang.