Peran Gen-Z dalam Gelombang Perlawanan Baru

Mereka sering dicap apatis, generasi yang hanya sibuk dengan layar, dan hanya peduli pada tren viral. Namun, demonstrasi yang pecah di berbagai belahan dunia akhir-akhir ini, dari Indonesia hingga Nepal, membantah semua stigma tersebut. Mereka adalah generasi yang tidak lagi sekadar mewarisi luka, melainkan menciptakan bahasa perlawanan mereka sendiri.
Gen-Z, yang lahir dari dunia digital tanpa batas, telah menjadikan linimasa sebagai medan, solidaritas sebagai senjata, dan keberanian sebagai energi yang menular. Mereka tampil sebagai motor perlawanan baru: gesit memanfaatkan media sosial untuk melintasi batas negara.
Dari tagar yang menggema, dari Jakarta hingga Kathmandu, mereka memperlihatkan bahwa protes kini tidak lagi berhenti di satu bangsa, melainkan merambat melintasi perbatasan, menyatukan kemarahan dan harapan dalam satu gelombang transnasional.
Dari Ruang Digital Menuju Arena Politik
Alih-alih berkumpul di ruang rapat atau forum resmi, Gen-Z mengorganisasi diri lewat grup pesan instan, unggahan singkat, dan tagar yang mampu menyalakan solidaritas dalam hitungan jam. Narasi yang mereka bangun tidak lagi kaku seperti pidato politik, melainkan cair, penuh kreativitas, dan mudah menyentuh emosi khalayak. Meme, video pendek, hingga desain grafis sederhana menjadi medium yang menyulut kesadaran baru: bahwa protes bisa dimulai dari layar kecil di genggaman tangan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa identitas Gen-Z sebagai “digital natives” tidak sekadar soal kecakapan teknologi, tetapi juga kemampuan mengubah ruang digital menjadi arena politik. Mereka memahami cara kerja algoritma, dinamika viralitas, dan seni membangun narasi yang menarik perhatian publik. Dengan cara ini, mereka berhasil menggalang dukungan, menyebarkan informasi, dan bahkan menekan otoritas secara efektif.
Ini adalah evolusi dari aktivisme tradisional, di mana kekuatan massa tidak lagi diukur dari seberapa banyak dan kuat orang yang turun ke jalan, tetapi seberapa jauh pesan perlawanan dapat menyebar dan memobilisasi kesadaran kolektif.
Manifestasi Perubahan Kuantitatif ke Kualitatif
Jika kita membaca magnum opus-nya Tan Malaka, “MADILOG” (Materialisme, Dialektika, Logika), fenomena revolusi semacam ini dipahammi sebagai manifestasi dari kuantitas yang berhasil mengubah kualitas. Tan Malaka, yang mengadopsi konsep Marxisme, menganalogikan model revolusi ini dengan air yang dipanaskan.
Dalam suhu rendah, air tidak akan mengalami perubahan kualitatif. Namun, jika suhu itu menyentuh 80–100 derajat celsius, air akan berubah menjadi uap. Inilah yang dimaksud dengan perubahan kuantitatif (eskalasi suhu) yang menjadi perubahan kualitatif (perubahan wujud air menjadi uap).
Dalam konteks gerakan Gen-Z, akumulasi protes, unggahan media sosial yang tak terhitung jumlahnya, dan tagar yang terus bergema (kuantitas) akhirnya memicu perubahan politik yang signifikan (kualitas).
Di Nepal, gelombang protes yang dipelopori oleh pemuda melalui jejaring media sosial berhasil memaksa pemerintah untuk meninggalkan tahtahnya. Gerakan ini menunjukkan bahwa perubahan tidak melulu diinisiasi oleh parlemen, organisasi aktivis, buruh atau entitas apapun yang dianggap memiliki power. Kini, mereka–yang sering dipandang sebagai kaum rebahan–berhasil membuktikan kepada dunia bahwa revolusi bisa datang dari mana saja.
Sejarah Baru yang Diciptakan
Runtuhnya pemerintahan Nepal yang ditandai dengan mundurnya PM dan Presiden di bawah gerakan yang diinisiasi oleh Gen-Z menunjukkan bahwa perubahan (revolusi) tidak harus berawal dari diskusi kaku di gedung yang megah nan ber-AC.
Generasi yang dipandang hanya peduli pada layar handphone ini berhasil membuktikan bahwa mereka mampu menggerakkan massa dan memaksa perubahan. Mereka menggunakan platform sosial media untuk mengorganisasi dan merumuskan langkah-langkah strategis. Hal ini menunjukkan bahwa ruang digital dapat berfungsi sebagai ruang konsolidasi politik yang efektif.