KTT Doha, Antara Retorika dan Aksi Nyata; Membaca Pesan Syair al-Hamdani untuk Dunia Arab–Islam

متى تجمع القلب الذكي وصارما وأنفا حميا تجتنبك المظالم
“Jika engkau memadukan hati yang cerdas, pedang yang tajam, dan kehormatan yang membara, maka kezhaliman akan menjauh darimu.” (‘Amr bin Barraqah al-Hamdani, dikutip oleh Presiden Suriah Ahmed al-Syara’ dalam pidato KTT Doha)
KTT Darurat Arab–Islam yang digelar di Doha, Qatar, 14–15 September 2025, menjadi panggung dramatis pascaserangan Israel ke jantung diplomasi Doha. Dunia menyaksikan bagaimana hampir 60 negara Arab dan Islam berkumpul, mengutuk agresi Israel, dan merumuskan serangkaian keputusan: dari jalur hukum internasional, membuka opsi sanksi ekonomi, hingga ‘wacana’ aliansi pertahanan regional.
Namun, di balik kemeriahan diplomasi itu, viral ungkapan sarkas “KTT Doha meluncurkan ‘serangan retorika’ yang dahsat, dan Israel membalasnya dengan ‘serangan militer’ mematikan yang meningkat di Gaza. Pertanyaan besar juga masih menggelayut: apakah KTT ini benar-benar memenuhi ekspektasi umat Muslim di dunia, ataukah sekadar menambah koleksi retorika yang berakhir di arsip komunike?
Pidato Menghentak Presiden Suriah Ahmed al-Syara’
Pidato yang singkat, padat, dan penuh makna itu disampaikan dalam durasi 64 detik di hadapan 60 kepala negara dan pemimpin delegasi dunia Arab-Islam, menjadi simbol penting: “Kurangi kata-kata, perbanyak tindakan.” Itulah pesan inti yang menggema, bukan hanya untuk para pemimpin di arena KTT, tapi juga untuk dunia Muslim.
Ia menyebut Gaza dan Suriah dalam satu nafas, mengikat luka Palestina dengan luka negerinya, menegaskan bahwa agresi Israel bukan hanya pada satu titik, tapi bagian dari pola kolonial regional.
Dengan mengutip syair, doa, salam, dan basmalah, ia menghadirkan pidato spiritual sekaligus politis—ringkas, jelas, dan menyentil para pemimpin yang biasanya panjang lebar tanpa makna. Itulah mengapa pidato itu saya putar berulang kali, tersebab ke-“fasih”-annya, dan dianggap mewakili suara hati umat: ucapan sedikit, makna dalam, dan tuntutan nyata.
Hati yang Cerdas
Ahmed al-Syara’ sebelum mengakhiri pidatonya yang super singkat itu mengutip bait syair al-Hamdani yang saya tulis di atas. Al-Hamdani memulai dengan syarat: qalb dzakiyy—hati yang cerdas. KTT Doha telah menunjukkan kecerdasan politiknya.
Serangan Israel pada 9 September yang menewaskan putra Khalil al-Hayya dan seorang perwira polisi Qatar diposisikan bukan sekadar serangan ke Hamas, tetapi pelanggaran kedaulatan negara mediator. Dengan cerdas, Qatar mengubah luka itu menjadi modal politik: mengumpulkan dunia Arab–Islam, menyatukan kecaman, dan mendorong opsi hukum internasional.
Kecerdasan ini penting. Sebab, menghadapi Israel tidak cukup dengan emosi. Dibutuhkan strategi jangka panjang yang membaca ulang peta kekuatan global, memanfaatkan instrumen diplomasi, dan memposisikan Palestina sebagai poros solidaritas umat.
Pedang yang Tajam
Tetapi, al-Hamdani tidak berhenti pada kecerdasan. Ia menuntut sārim, pedang yang tajam. Di sinilah letak kelemahan KTT Doha. Komunike memang menyebutkan “opsi peninjauan hubungan normalisasi” dan “tekanan ekonomi bertahap,” bahkan muncul wacana “pakta pertahanan bersama (NATO) Arab.” Namun, semua masih dalam tataran opsi, bukan keputusan mengikat.
Padahal, sejarah mengajarkan: Israel tidak pernah berhenti dari aksi-aksi barbarnya karena tekanan kata-kata. Zionis hanya mundur bila menghadapi biaya nyata—sanksi ekonomi kolektif, embargo militer yang efektif, atau kekuatan pertahanan bersama yang menimbulkan deterensi. Tanpa ‘pedang’ yang nyata, kezhaliman akan tetap berani masuk ke jantung dunia Islam, sebagaimana ia pertontonkan di Gaza, Tepi Barat, Al-Quds, Hebron, Suriah, Iran, Tunisia, Yaman bahkan Qatar, sekutu strategis AS.