QUR'AN-HADITS

Menemukan Spirit Ramah Lingkungan dalam Ayat-Ayat Al-Qur’an

Al-Qur’an menyajikan ajaran yang tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga menuntun manusia menjaga alam. Ayat-ayat tentang air, tumbuhan, dan hewan menunjukkan bahwa lingkungan adalah tanda kebesaran Allah yang mesti dihormati.

Krisis ekologi seperti pemanasan global, banjir, polusi, dan deforestasi menuntut tafsir Al-Qur’an yang kontekstual. Green tafsir hadir sebagai upaya membaca kembali teks suci agar sejalan dengan tantangan lingkungan modern.

Konsep manusia sebagai khalifah di bumi menegaskan peran ganda: mengelola sekaligus menjaga. Tafsir ekologis menekankan bahwa peran khalifah tidak boleh dipahami hanya sebagai dominasi, tetapi lebih pada tanggung jawab merawat keseimbangan alam. QS. Al-A’raf [7]:56 melarang kerusakan di muka bumi. Ayat ini sering dijadikan dasar etika ekologi. Dalam green tafsir, larangan ini tidak sebatas moralitas individual, tetapi kewajiban kolektif untuk melestarikan bumi.

Tradisi ulama klasik telah menyinggung pentingnya keseimbangan. Misalnya, al-Razi menafsirkan ayat alam sebagai tanda agar manusia tidak sombong. Tafsir modern kemudian mengembangkannya menjadi prinsip keadilan ekologis.

Green tafsir menekankan bahwa gaya hidup sederhana, hemat energi, dan menghindari berlebihan adalah implementasi ajaran Qur’ani. Konsumsi berlebihan, pemborosan air, dan eksploitasi alam bertentangan dengan pesan kitab suci.

Gerakan lingkungan berbasis agama kini mulai muncul. Pesantren eco, masjid hijau, dan dakwah lingkungan merupakan contoh praksis green tafsir. Aktivitas itu menjadikan ayat-ayat Qur’an sebagai motivasi nyata bagi kepedulian ekologis. Media digital turut berperan dalam menyebarkan kesadaran ekologis Qur’ani. Video dakwah, artikel online, dan kampanye hijau di media sosial menjadi sarana menanamkan tafsir ramah lingkungan pada generasi muda yang akrab teknologi.

Green tafsir juga relevan dengan prinsip keberlanjutan global. Agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang dicanangkan PBB menemukan pijakan spiritual dalam Al-Qur’an. Nilai ini memperkuat posisi Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Penghormatan terhadap alam adalah bentuk syukur kepada Allah. Menjaga hutan, air, dan udara sama artinya menjaga nikmat Tuhan. Tafsir ekologi mengingatkan bahwa merusak lingkungan berarti mengingkari amanah Ilahi.

Isu lingkungan bukan hanya teknis, melainkan juga moral. Green tafsir memberi dimensi spiritual dalam gerakan lingkungan. Dengan pendekatan ini, kesadaran ekologis tidak sekadar tren, tetapi bagian dari ibadah dan iman. Selain memberi arah spiritual, green tafsir dapat mendorong kebijakan publik. Jika pemerintah, ulama, dan masyarakat bersinergi, regulasi ramah lingkungan dapat lebih mudah diterima sebagai perintah agama, bukan sekadar aturan hukum.

Generasi muda perlu menjadi pelopor tafsir ramah lingkungan. Kajian Qur’an di kampus, komunitas hijau, dan gerakan digital bisa menjadi wahana belajar.

Tafsir ekologis dapat membentuk generasi yang peduli sekaligus berilmu. Dengan demikian, green tafsir bukan sekadar wacana akademis. Ia adalah tafsir hidup yang mendorong aksi nyata: menanam pohon, mengurangi sampah, dan menjaga ekosistem. Tafsir Qur’ani menjadi inspirasi membangun bumi yang berkelanjutan.[]

Ahmad Izzul Haq, Santri Ponpes Al-Fattah Kartasura.

Artikel Terkait

Back to top button