QUR'AN-HADITS

Gen-Z dan Al-Qur’an: Saat Teks Suci Berinteraksi dengan Budaya Digital

Generasi Z (Gen-Z) dikenal sebagai kelompok yang lahir di era digital. Mereka terbiasa dengan gawai, media sosial, dan akses informasi instan. Dalam konteks keagamaan, khususnya Islam, muncul pertanyaan bagaimana mereka berinteraksi dengan Al-Qur’an di tengah arus digital yang deras.

Al-Qur’an tidak hanya teks suci yang dibaca dalam ibadah, tetapi juga sumber etika, spiritualitas, dan peradaban. Firman Allah, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (Q.S. Al-Isra’ [17]: 9). Tantangannya adalah apakah Gen Z masih merujuk padanya di era digital.

Generasi Z terbiasa multitasking: mendengar musik sambil membaca, atau menonton video sembari berdiskusi. Budaya digital telah membentuk cara mereka berpikir serba cepat, visual, dan ringkas. Pola ini memengaruhi bagaimana mereka menerima nilai agama, termasuk Al-Qur’an.

Media sosial menjadi ruang utama Gen Z. Mereka lebih suka konten singkat berupa video, infografis, atau kutipan singkat dibandingkan teks panjang. Tantangan bagi dai dan cendekiawan adalah bagaimana menyajikan pesan Al-Qur’an agar sesuai dengan gaya digital ini.

Di era digital, mushaf bukan hanya cetak. Kini hadir e-Qur’an dalam bentuk aplikasi dengan tafsir interaktif, audio, dan terjemahan. Misalnya aplikasi Quran.com dan Muslim Pro yang memudahkan membaca, mencari ayat, bahkan mendengar qari pilihan.

Selain itu, konten dakwah berbasis Al-Qur’an banyak menyebar di YouTube dan TikTok. Misalnya potongan tausiyah singkat Ustadz Adi Hidayat atau Gus Baha yang disertai teks ayat dan terjemah. Ini menjadi sarana baru memahami Al-Qur’an dengan cepat.

Digitalisasi membuka akses luas bagi Gen Z untuk mendekati Al-Qur’an. Generasi ini bisa mengakses tafsir klasik seperti Tafsir al-Tabari atau Tafsir Ibn Kathir melalui library online. Bahkan kitab modern semisal Fi Zilal al-Qur’an karya Sayyid Qutb juga mudah ditemukan.

Kecepatan akses ini memungkinkan Gen Z belajar secara mandiri. Namun, potensi ini hanya akan efektif jika disertai pendampingan guru dan ulama. Sebab, membaca Al-Qur’an beserta tafsirnya tetap membutuhkan metodologi yang benar agar tidak salah paham.

Budaya digital cenderung instan. Potongan ayat sering dibagikan tanpa konteks, sehingga berisiko disalahpahami. Misalnya, ayat jihad yang dikutip tanpa tafsir menyeluruh bisa dipakai untuk membenarkan kekerasan. Padahal ulama menegaskan konteks asbab al-nuzul sangat penting.

Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an dengan akalnya sendiri maka bersiaplah menempati tempat duduknya di neraka” (H.R. Tirmidzi dari Ibn Abbas). Hadis ini mengingatkan perlunya kehati-hatian dalam menafsirkan teks suci.

Di era digital, ulama dan akademisi dituntut hadir di ruang virtual. Mereka perlu mengemas tafsir dengan bahasa Gen Z: visual, ringkas, tetapi tetap metodologis. Tanpa itu, tafsir populer di media sosial bisa jatuh pada simplifikasi berlebihan.

Misalnya, program Ngaji Online yang digagas beberapa pesantren telah menjembatani tradisi tafsir klasik dengan budaya digital. Dengan demikian, nilai Al-Qur’an tetap otentik sekaligus relevan dengan gaya konsumsi Gen Z.

Kelebihan lain dari era digital adalah peluang kolaborasi lintas generasi. Generasi Z bisa menjadi penghubung antara ulama senior dengan masyarakat digital. Dengan kemampuan teknologi, Gen Z dapat membantu menyebarkan tafsir dalam format kreatif.

Sebagai contoh, ada komunitas yang membuat podcast tentang tafsir tematik. Mereka membahas isu lingkungan, kesenjangan sosial, atau kesehatan mental berdasarkan ayat Al-Qur’an. Cara ini dekat dengan isu Gen Z sekaligus menjaga relevansi kitab suci.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button