Abdurrauf As-Singkili, Ulama Besar Aceh yang Santun
Memegang otoritas tertinggi di bidang hukum dan agama di Kesultanan Aceh 1660-an, Abdurrauf As-Singkili menghadapi perkara pelik. Ia harus menghentikan konflik antar kaum Muslim yang membuat Serambi Mekkah banjir darah.
Kala itu para pengikut Syekh Nuruddin ar Raniri memburu penganut paham Wahdatul Wujud yang dipimpin Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin al Sumatrani. Nuruddin dan pendukungnya menuding penganut Wahdatul Wujud sebagai kaum sesat yang harus bertobat. Karya-karya Hamzah Fansuri dibakar, cucuran darah pengikutnya dianggap halal.
Seperti ditulis guru besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Oman Fathurrahman, dalam artikel berjudul ‘Ulama Santun dari Serambi Mekkah’, Abdurrauf yang kerap dipanggil Syiah Kuala tidak menggunakan kalimat tajam atau menghakimi. Meskipun bisa, dia memilih tidak menggunakan otoritasnya untuk memberi perintah yang harus ditaati. “Abdurrauf meminta agar semua kubu tidak sembarangan menuduh orang atau kelompok lain sesat dan kafir,” terang Oman Fathurrahman. (Lihat Wali Nusantara Jejak Perjalanan Syiar, Tempo, KPG 2020).
Masyarakat Aceh menyebut Abdurrauf as Singkili dengan Syiah Kuala. Gelar itu juga diabadikan sebagai nama kampus tertua di Aceh, yaitu Universitas Syiah Kuala. ”Beliau ulama besar, guru bagi banyak wali,” kata Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Jakarta.
Syiah Kuala bernama lengkap Aminuddin Abdurrauf bin Ali al Jawi Tsumal Fansuri as Singkili. Nenek moyangnya berasal dari Persia yang datang pada masa Kesultanan Samudra Pasai, abad ke 13. Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Ayahnya, Syekh Ali Fansuri seorang ulama di Lipat Kajang, Simpang Kanan, Aceh Singkil. Meski informasi makam menyebutkan ia lahir pada 1591, sejumlah peneliti peradaban Islam di Nusantara, seperti Azyumardi, Peter Riddell dan T Iskandar, meyakini Syiah Kuala lahir pada 1615. Tahun kelahiran itu diambil dari pelacakan setelah Syiah Kuala kembali dari Timur Tengah.
Baca juga: Kedekatan Ulama dan Penguasa: Tradisi Melayu
Azyumardi menyebutkan bahwa Syiah Kuala menempuh pendidikan selama 19 tahun di Timur Tengah. Sebelumnya ia mengenyam pendidikan di dayah atau madrasah Oboh Simpang Kiri. Ia sempat berinterakasi dengan 19 guru dari berbagai disiplin ilmu.
Salah satu guru yang paling intens berkomunikasi dengannya adalah Syekh Ahmad al Qusyasyi, ulama sufi pemimpin tarekat Syattariyah yang menggabungkan disiplin syariat dengan ajaran tasawuf. “Ia terhubung langsung dengan jaringan inti ulama Timur Tengah,” ujar Azyumardi. Menurutnya, Syiah Kuala akhirnya menjadi perintis ajaran tarekat Syattariyah di Nusantara. Dua muridnya yang ikut menyebarkan tarekat ini adalah Syekh Burhanuddin Ulakan di Pariaman dan Syekh Abdul Muhyi di Tasikmalaya.
Syiah Kuala sempat berkelana ke berbagai wilayah kesultanan Aceh sebelum menetap di Pantai Kuala Krueng Aceh. Kawasan itu dulu merupakan pusat perdagangan dan tempat menetap bangsa asing. Di sana terdapat Gampong Biduen, yang oleh Muhammad Yunus Jamil dalam bukunya Gerak Kebangkitan Aceh, dikenal sebagai kompleks pelacuran.
Sejarawan Aceh dari Universitas Syiah Kuala, Muhammad Adli Abdullah, menjelskan bahwa Syiah Kuala tak serta merta mengajarkan Islam di kawasan Pantai Kuala Krueng. Ia pernah menyamar sebagai orang yang memiliki kesaktian untuk menyebarkan dakwahnya dan menghilangkan pelacuran. “Menarik simpati banyak orang, Syiah Kuala berperan sebagai tabib yang bisa menyembuhkan penyakit,” ucap Adli.
Cara itu, kata Adli, perlahan mampu mengubah kondisi sosial budaya masyarakat Aceh. Perilaku dan tatanan masyarakat yang menyimpang dari ajaran Islam berangsur-angsur hilang. Menurut dia, ketenaran Syiah Kuala terdengar oleh Sultanah Safiatuddin Syah. Ia mengundang Syiah Kuala ke istana untuk menghadiri perayaan Maulid Nabi Muhammad pada 1665.
Kemudian Sultanan Safiatuddin mengangkat Syiah Kuala sebagai Qadhi Malikul Adli Kesultanan Aceh. Jabatan ini terbilang tinggi, karena sistem pemerintahan Aceh terbagi dua kamar, yaitu otoritas politik dan agama. Qadhi merupakan pemegang otoritas tertinggi di bidang hukum dan keagamaan. Saat ini, seperti Ketua Mahkamah Agung.