Abu Nawas, Kisah Tobat Sang Pujangga Jenaka
Tokoh kontroversial yang sudah tidak asing bagi kita, terutama di kalangan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Pasti dengan mudah bisa menebak tokoh ini, ketika menyebut namanya pandangan kita pasti akan tertuju pada sebuah syair legendaris yang sudah terkenal di dunia ini khususnya di Indonesia. Syair ini biasa terdengar di mushala-mushala sebagai pujian sembari menunggu waktu shalat tiba, syair ini biasa dikenal dengan Al-I’tiraf yang berbunyi sebagai berikut:
Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi
Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim
Fa hablii taubatan waghfir zunuubii fa innaka ghaafirudzdzambil ‘azhiimi
Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar
Berdasarkan potongan dua bait syair di atas dengan mudah kita bisa menebak siapa tokoh yang dimaksud, dialah Abu Nawas atau juga bisa disebut sebagai Abu Nuwas, nama aslinya adalah Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Lahir pada tahun 145 H/ 762 M di daerah Ahwaz salah satu bagian kota Kazakstan di Iran.
Ayahnya bernama Marwan bin Muhammad yang merupakan anggota tentara dari khalifah terakhir Dinasti Umayyah di Damaskus. Ibunya bernama Jelleban seorang wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol.
Sejak kecil Abu Nawas sudah menjadi yatim dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ibunya akhirnya banting tulang untuk membiayai kehidupan mereka, pada saat usianya tujuh tahun sang ibu membawa Abu Nawas ke Basrah untuk belajar. Abu Nawas belajar bahasa dan sastra dari Abu Zaid dan Abu Ubaidah; belajar hadist dari Abu Walid bin Ziyad, Muktamir bin Sulaiman, Yahya bin Sa’id Al-Qattan, dan Azhar bin S’ad as-Samman: dan belajar Quran Ya’qub al-Hadrami.
Tak heran Abu Nawas tumbuh menjadi sosok yang intelek, Ibn Qutaibah menyebutkan bahwa Abu Nawas adalah orang yang sarat dengan ilmu pengetahuan. Ia menguasai berbagai macam pengetahuan dengan baik. Ketertarikannya dengan bidang sastra serta karya-karya indahnya membuat Abu Nawas menjadi seorang penyair mashyur kala itu.
Hingga pada suatu hari syairnya sampai pada telinga khalifah Harun ar-Rasyid seorang pemimpin Dinansti Abbasiyah yang sangat menyukai dan memperhatikan puisi. Abu Nawas dianggap sebagai pembaru sastra Abbasiyah karena telah banyak menemukan bentuk-bentuk puisi baru, menggunakan gaya mutakallimun dan istilah-istilah filsafat serta pengetahuan ilmiah. Namun, nasib baik tidak selalu menyertai Abu Nawas.
Sang pujangga pernah mendekam di penjara akibat karya yang diciptakannya, saat itu Abu Nawas melantunkan puisi untuk kabilah Arab Mudar yang dianggap menghina kabilah tersebut hingga akhirnya membuat khalifah marah dan memenjarakannya. Dari penjara inilah kisah kesufiaan Abu Nawas bermula dan syair Al-I’tiraff merupakan buah hasil ciptaaanya selama di penjara yang syarat akan nilai teologis.
Hal ini tentu berbeda dari syair-syair sebelumnya yakni yang sebagian besar bertemakan tentang kenikmatan dunia seperti khamr (suka ria kemabukan dan erotisme); retorika satire yang mendoroang kemabukan: sindiran kepada kesalalehan formal; pentingnya ‘menikmati hidup’. Abu Nawas merupakan tokoh sufi yang berbeda dengan tokoh lainnya yang sedari dini sudah menjauhi gemerlap kehidupan dunia atau yang biasa kita sebut dengan zuhud.