Ada Apa dengan Kurikulum Cinta?

Kementerian Agama RI meluncurkan kurikulum baru bernama Kurikulum Berbasis Cinta. Kurikulum ini menampilkan wajah baru pendidikan Islam yang katanya lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai kasih sayang, toleransi, dan harmoni dalam proses pendidikan, mampukah kurikulum ini menjadi solusi bagi segudang problematika pendidikan saat ini?
Menteri Agama, Nasaruddin Umar, dalam pidato peluncuran KBC di di Asrama Haji Sudiang, Makassar pada Kamis, 24 Juli 2025 mengatakan bahwa KBC sebagai langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional. Kurikulum ini hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan yang makin mengkhawatirkan (Tempo.co, 25 Juli 2025).
KBC berdasarkan pada lima nilai utama yang disebut Pancacinta, yakni cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa; cinta kepada diri dan sesama; cinta kepada ilmu pengetahuan; cinta kepada lingkungan; dan cinta kepada bangsa dan negara (Walisongo.ac.id, 25 Juli 2025).
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancacinta ini akan dikolaborasikan ke dalam proses belajar-mengajar, tidak sebatas pada mata pelajaran agama, tetapi juga pada mata pelajaran lainnya. KCB ini diyakini dapat membawa dampak positif bagi perkembangan peserta didik. KCB juga diharapkan dapat membentuk generasi berkepribadian inklusif dan toleran, serta berinteraksi sosial yang sehat, baik hubungannya terhadap masyarakat maupun kepeduliannya terhadap lingkungan.
Tampak dari namanya, kurikulum cinta ini seolah menawarkan ide dan konsep yang sangat baik. Namun, jika ditelaah dengan menggunakan ide yang berkonsep cinta yang begitu universal, kurikulum ini berpotensi mendistorsi konsep cinta yang seharusnya dipahami oleh generasi muda Muslim.
Paradigma Islam tidak mengajarkan mencintai sesuatu tanpa fondasi iman. Bagi seorang Muslim, cinta harus dibangun dari keimanan, sedangkan benci berlandaskan kekufuran. Baginda Rasulullah Saw bersabda, “Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas kepada Allah, dengan mencintai dan membenci (segala sesuatu) hanya karena-Nya).” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak).
Sejatinya, cinta yang bersifat universal dapat membahayakan akidah generasi muda Muslim. Sebab, cinta yang demikian lahir dari ide pluralisme dan relativisme. Akhirnya, menjadikan akidah Islam tidak suci lagi akibat terkotori oleh paham rusak dan merusak yang lahir dari rahim sekularisme.
Terlebih, pemerintah mengklaim bahwa kurikulum cinta dikemas dengan wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Padahal, fakta yang ada, konsep moderasi beragama mengarahkan generasi muda Muslim untuk ramah pada perbedaan agama dengan toleransi yang kebablasan.
Ruh moderasi beragama yang ada dalam kurikulum cinta sejatinya berpotensi menjauhkan generasi dari identitasnya sebagai Muslim sejati dan ajaran Islam Kaffah. Alhasil, jika ditelaah kurikulum baru ini justru mengandung bahaya deradikalisasi sejak dini dengan berbagai macam bentuknya.
Akibatnya, generasi muda Muslim bisa jadi bersikap keras terhadap sesama Muslim dan lembut kepada non-Muslim atas nama cinta dan perdamaian. Misal, Muslim yang ingin menerapkan syariat Islam secara komprehensif akan dilabeli ekstrem dan radikal, serta dimusuhi dan dipersekusi, bahkan dikriminalisasi. Sementara itu, bagi non-Muslim, mereka diperlakukan dengan hormat meskipun menghina syariat Islam, bahkan tak mengapa jika ikut merayakan hari raya bersama-sama.
Tampak jelas bahwa kurikulum cinta ini berlandaskan sekularisme. Kurikulum ini menjauhkan generasi muda Muslim dari aturan agama, serta menjadikan akal sebagai sumber hukum dan pemutus dalam penyelesaian problematika kehidupan. Padahal dalam pandangan Islam, ide sekularisme merupakan ide yang salah dan batil.
Pendidikan merupakan aspek vital dalam kehidupan manusia, serta menjadi aspek strategi untuk menanamkan dan membentuk pemahaman generasi dengan tsaqafah dan metode pengajaran tertentu. Inilah yang dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Kitab Daulah Islam pada bab Pengaruh Serangan Misionaris.