TELADAN

Ada Perih Pilu dan Ujian Kesetiakawanan di Balik Kebesaran Imam Bukhari

“Dan aku menyerahkan urusanku kapada Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (Surat Ghofir : 44)

Setelah itu beliau berdoa: “Wahai tuhanku sesungguhnya engkau telah mengetahui bahwa aku tidak menghendaki kedudukan di Naisabur dengan cara keji, sombong, dan aku tidak nafsu akan kepemimpinan. Akan tetapi diriku enggan untuk pulang ke kampung halaman karena dominasi orang-orang yang menyimpang. Sungguh orang ini (Dzuhli) telah mengarahkan permusuhan denganku karena hasadnya terhadap Apa yang Allah berikan kepadaku dan tidak ada motif lain”

Kata Imam Ahmad an Naisaburi: “Aku mengabarkan semua sahabat-sahabat ku akan berita ini, dan demi Allah tidak ada seorang pun yang keluar mengantar beliau untuk perpisahan selainku. Aku bersama beliau ketika mulai berjalan keluar dari kota ini” (Tarikhul Islam Imam Dzahabi: 6/140)

Itulah yang terjadi dengan Imam Bukhari. Ulama terkemuka sepanjang sejarah. Tidak lepas dari fitnah dan angkara murka. Bahkan dari orang terdekatnya sekalipun. Apalagi kita.

Kita bukan Imam Bukhari. Bukan juga Imam Muslim. Kita hanyalah serpihan rengginang. Pelengkap dan penggembira di saat yang lain sudah tiada. Kita pelengkap yang tak sempurna. Namun bukan penggembira yang salah.

Hafalan hadits kita mungkin tak seberapa. Mengamalkannya pun jauh panggang dari api. Namun prinsip tegar membela yang benar. Harus menjadi muara dari semua cita-cita.

Gusti Allah mboten sare. Becik ketitik olo ketoro. Yang benar akan tampak benar. Yang salah akan terlihat akhirnya.

Sungguh indah akhlak Imam Bukhari. Sungguh kuat prinsip Imam Muslim. Sungguh terpuji perilaku Imam Ahmad an Naisaburi. Kisah keteguhan prinsip mereka melambangkan kesetiakawanan dalam kebenaran.

Dasar persahabatan mereka bukan kepentingan; Mencari-cari selagi butuh, mengiming-imingi dengan segudang janji, lalu pergi bak ditelan bumi. Tidak. Tapi, kebenaran. Karena itulah, keduanya tidak termakan oleh isu dan opini.

Biar sebesar apa pun fitnah bergelombang, biar layar robek, biar kemudi patah, pantang sikap surut ke belakang. Begitulah memang, bagi seorang berakhlak mulia khianat adalah sikap tercela. Apatah lagi menikam teman seiring, membunuh karakter sahabat seperjuangan. Aib baginya menusuk dari belakang.

Rahimallāhu al Imām al Bukhārī. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau.

Masdar Helmi, Lc., Guru Ngaji di Pelosok Negeri.

[Disarikan dari berbagai sumber]

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button