Adab Berdemonstrasi Menurut Islam

Tahap Kedua: Menasihati Pemerintah dengan Lemah Lembut atas Dasar Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Jika setelah menjalani tahap pertama keadaan tetap tidak berubah—yakni pemerintah belum juga memperbaiki kebijakannya yang tidak adil dan tidak berpihak kepada rakyat—maka diperlukan langkah berikutnya, yaitu melakukan amar ma‘ruf nahi munkar dengan cara yang lemah lembut.
Bentuk dari amar ma‘ruf nahi munkar ini adalah memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah dengan cara yang baik, tanpa melanggar norma agama maupun norma masyarakat. Misalnya, apabila dilakukan melalui pembicaraan atau tulisan, hendaknya disampaikan dengan bahasa yang santun, beretika, dan penuh tata krama.
Bentuk lain dari amar ma‘ruf nahi munkar adalah dengan menunjuk perwakilan dari masyarakat yang dapat menyuarakan aspirasi, perasaan, serta kondisi yang sedang dialami masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang tidak adil. Perwakilan tersebut kemudian melakukan dialog langsung (empat mata) dengan pihak berwenang, menggunakan bahasa yang santun, beretika, dan penuh tata krama.
Diriwayatkan bahwa seorang A‘rābī (Badui) datang menghadap Khalifah Hishām ibn ʿAbd al-Malik. Ia berkata:
“Wahai Amīrul-Mu’minīn, engkau telah memerintah kami selama tiga tahun. Pada tahun pertama, engkau melelehkan lemak kami; pada tahun kedua, engkau memakan daging kami; dan pada tahun ketiga, engkau mengisap tulang kami. Padahal, engkau memiliki kelebihan harta. Jika harta itu milik Allah, maka sebarkanlah kepada hamba-hamba-Nya. Jika milik rakyat, mengapa engkau menahannya dari mereka? Dan jika itu milikmu, maka bersedekahlah dengannya, sebab Allah mencintai orang-orang yang bersedekah.”
Mendengar hal itu, Hishām bertanya: “Apakah ada kebutuhan lain, wahai A‘rābī?”
Ia menjawab: “Tidak. Demi Allah, aku tidak menempuh perjalanan jauh, memacu unta hingga pecah punggungnya, menahan panas siang, dan menembus gelap malam demi kepentingan pribadi, melainkan demi kepentingan umum.”
Mendengar keberanian itu, Hishām kemudian memerintahkan agar sejumlah harta dibagikan kepada masyarakat, dan memberikan sebagian harta kepada si A‘rābī, yang kemudian dibagikannya lagi kepada kaumnya.
Mengapa pada tahap kedua ini harus dilakukan dengan lemah lembut? Imam Al-Ghazali dalam Ihya’-nya menjawab bahwa, kewajiban amar ma‘rūf nahi munkar terhadap penguasa dibatasi pada memberi pengertian (ta‘rīf) dan memberi nasihat (wa‘zh). Adapun bentuk pencegahan dengan kekuatan atau pemaksaan bukanlah wewenang rakyat terhadap penguasa, sebab hal itu justru dapat memicu fitnah, menimbulkan kekacauan, serta menghasilkan dampak buruk yang lebih besar dibandingkan kemaslahatan yang diharapkan.