NUIM HIDAYAT

Adil dalam Al-Qur’an

Ayat ini juga menjelaskan dengan menarik bahwa sikap adil tetap harus dipegang, meski seseorang kadang benci kepada orang lain. Dan ini tidak mudah, tapi tetap harus dilakukan.`Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.` Di sini juga Allah memerintahkan bahwa agar kita bisa bertakwa, kita harus berlaku adil, baik terhadap manusia atau terhadap Allah SWT.

“Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan hak dan dengan yang hak itulah mereka menjalankan keadilan.” (al A`raf 159)

“Dan di antara orang-orang yang Kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.” (al A`raf 181)

Di sini bisa dimaknakan bahwa keadilan harus didasari dengan Islam (kebenaran). Dan juga bermakna bahwa keadilan harus diperjuangkan atau dibangun.

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (al An`am 152)

Di ayat ini dijelaskan bahwa dalam pembagian harta harus adil atau sesuai dengan haknya. Juga dilarang mengambil harta anak yatim. Selain itu Allah SWT juga melarang seseorang berlaku zalim dalam berkata-kata. Maknanya dalam ucapan seseorang mesti bersikap adil, dengan mempertimbangkan pendapat dua fihak yang berselisih. Pendapat yang benar atau terbaik yang diambil.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al Baqarah 282)

Di sini adil bermakna bahwa saksi harus berlaku adil dan hutang piutang perlu ditulis, sehingga tidak timbul ketidakadilan di kemudian hari.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (an Nisa` 58)

Di ayat ini Allah SWT memerintahkan dengan jelas bahwa dalam menetapkan hukum kepada manusia, wajib bersifat adil. Dan ayat ini juga memerintahkan agar manusia memberikan amamat kepemimpinan kepada yang berhak menerimanya, yakni amanat itu diberikan kepada orang yang dikenal sifat keadilannya. Jangan sampai amanat itu diberikan kepada orang yang zalim.

“Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” (an Nahl 76)

Di ayat di atas Allah SWT menegaskan bahwa berbeda antara orang yang mandiri menegakkan keadilan dengan orang yang menjadi ‘budak’ orang lain, sehingga tidak bisa membuat keputusan secara mandiri.

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (an Nahl 90)

Jadi sifat adil itu wajib dimiliki seorang Muslim. Dengan sikap adil, maka seorang Muslim akan menjadi teladan bagi umat-umat lain. Wallahu alimun hakim.

Nuim Hidayat, Ketua Dewan Da’wah Islamiyah Depok

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button