Agama Dianggap Musuh, Sesat Pikir!
Sepekan usai dilantik, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi membuat gaduh publik. Pernyataannya yang kontroversial di salah satu media nasional, menuai gelombang kritik. Yudian mengatakan musuh terbesar Pancasila adalah agama, bukan kesukuan.
Dalam pernyataannya, ia juga mengkritik realitas era reformasi yang meniscayakan ormas-ormas memilih Islam sebagai asas organisasi. Sedangkan menurutnya, Pancasila-lah yang harus menjadi asas, bukan Islam. Karena menjadikan Islam sebagai asas, sama halnya dengan membunuh Pancasila secara administratif.
Masih menurut Yudian, belakangan juga ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Pernyataan ini merujuk pada kelompok yang membuat Ijtima Ulama. Ia menyebut mereka adalah kelompok minoritas yang mengklaim sebagai mayoritas yang ingin melawan Pancasila. Dan ini menurutnya berbahaya. (detik.com, 12/2/2020).
Pernyataan Yudian tidak hanya tendensius tapi juga secara langsung menyakiti hati umat Islam. Rasanya tidak pantas pernyataan tersebut muncul dari orang yang menjabat sebagai Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila merangkap Rektor UIN Kalijaga Yogyakarta. Tidak heran jika pernyataan Yudian menuai kritik keras dari berbagai tokoh dan komponen bangsa.
Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi) H. Usamah Hisyam misalnya. Ia mendesak Presiden Jokowi untuk segera mencopot Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi. Ia beralasan, pernyataan kontroversial Yudian bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasia adalah menyesatkan dan memancing kemarahan umat.
Senada dengan Usamah, Wakil Ketua Fraksi PKS MPR RI Almuzzammil Yusuf bahkan mengecam keras pernyataan Yudian. Menurut Muzzammil, pernyataan Kepala BPIP ini justru menginjak-injak nilai Pancasila dan dapat memecah belah persatuan bangsa. Mengatakan musuh Pancasila adalah agama, sangat naif, provokatif dan menyesatkan. (suaraislam.id, 13/2/2020).
Sepakat dengan statement kedua tokoh tersebut, pernyataan Yudian jelas sesat dan menyesatkan publik. Pernyataan tersebut secara tidak langsung menempatkan agama Islam sebagai musuh dan sumber kekacauan. Logika sesat yang menabuh genderang perang dan perpecahan.
Di satu sisi, menyebut agama sebagai musuh, mengingatkan pada ide kalangan sosialis-komunis yang menempatkan agama sebagai candu. Sehingga keberadaan agama, khususnya Islam, harus disingkirkan dan dimusnahkan.
Menihilkan peran agama dalam kehidupan, bahkan menganggap agama sebagai musuh yang harus dijauhkan. Sejatinya merupakan karakter dasar paham sekuler yang diemban atas negeri ini.
Sekularisme melarang keras agama mengatur politik, pemerintahan, ekonomi, budaya, kesehatan, keamanan, pendidikan dan ranah kehidupan lainnya. Maka, tidak heran jika aroma sekularisme kental tercium dari pernyataan Kepala BPIP, walau dengan dalih sekularitas.
Selain itu, membenturkan Islam dan Pancasila seolah menjadi cara ampuh rezim ini ‘memukul’ umat Islam, khususnya mereka yang mendakwahkan Islam kafah. Padahal sejatinya, sangat tidak layak, jika Islam ditempatkan saling berhadapan dengan Pancasila sebagai sebuah falsafah yang mengajarkan nilai-nilai moral. Atau ditempatkan di bawah Pancasila. Apatah lagi jika disingkirkan atas nama membumikan nilai-nilai Pancasila.
Islam merupakan agama politik spiritual. Agama yang mendatangkan rahmat bagi seluruh alam. Islam mengajarkan konsep keimanan dan menuntun manusia dalam menjalani kehidupan sesuai dengan fitrahnya.
Islam dan Pancasila jelas memiliki fakta yang berbeda. Islam telah ada sebelum Pancasila lahir. Bahkan jauh sebelum Indonesia ini memproklamirkan kemerdekaannya sebagai sebuah negara. Kegemilangan Islam baik dalam menyatukan berbagai agama, bangsa, etnik, suku dan ras. Serta kemampuannya menyelesaikan problematika kehidupan telah terbukti dan teruji sepanjang sejarah peradaban manusia.
Penerapan Islam secara total dan komprehensif, tidak hanya mendatangkan kedamaian pada dunia. Tetapi juga keadilan, keamanan dan kesejahteraan bagi siapa saja yang berada dalam naungannya. Tanpa membedakan agama, bangsa, etnik, suku dan rasnya.
Sebaliknya, saatnya Islam diabaikan bahkan dicampakkan, dunia diliputi kekacauan. Keserakahan, kezaliman dan kemaksiatan merajalela. Penjajahan menjadi hal yang lumrah. Keadaan tersebut tidak hanya membunuh fitrah manusia, tapi juga menimbulkan kerusakan baik di darat maupun di lautan.
Sungguh, terus-menerus membenturkan Islam dengan Pancasila. Atau melecehkan dan menistakan Islam di hadapan Pancasila. Tidak hanya mengkonfirmasi, tapi juga menguatkan tuduhan bahwa rezim ini rezim anti-Islam. Menolak lupa, padahal kekuasaan mereka saat ini diperoleh dari ‘mengemis’ suara mayoritas umat Islam di negeri ini. Walaupun dengan berbagai drama dugaan kecurangan dan tragedi berdarah.
Menjadi renungan bersama, khususnya para pejabat di negeri ini. Bahwa sebagai pejabat semestinya mampu menjaga lisan dan jangan gegabah. Apatah lagi bermain-main dengan agama. Takutlah! Bermain-main dengan agama akan mengundang keburukan. Maka bertaubatlah dengan sebenar-benarnya taubat, sebelum penyesalan bermuara duka dan sebelum berbagai klarifikasi tiada berarti.
“Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) azab datang kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zhalim, “Ya Rabb kami, kembalikanlah kami meskipun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan-Mu dan mengikuti rasul-rasul”. (TQS. Ibrâhîm [14]: 44).
Dari kejadian ini, semoga umat dapat melihat dan semakin sadar. Bahwa kepemimpinan tanpa Islam sebagai asasnya, tidak dapat membawa kebaikan dan keberkahan. Sebaliknya, justru menjadi sumber kegaduhan, kekacauan dan ancaman perpecahan. Mencerabut fitrah dan menjauhkan identitas bangsa ini sebagai bangsa pemimpin yang adil dan beradab. Wallahu’alam bishshawwab.
Jannatu Naflah
Aktivis Dakwah Muslimah