Aksi Gerak Cepat Usut Lembaga Filantropi, Apa Kabar Kasus Korupsi?
Aksi Cepat Tanggap (ACT), lembaga filantropi popular di Indonesia, tengah menjadi sorotan. Kasus dugaan penyelewengan dana umat oleh para petinggi ACT muncul di berita utama Majalah Tempo pada hari Sabtu, 2 Juli 2022. Berita ini pun tak ayal menjadi viral dan menuai ragam komentar.
Ya, tidak sedikit yang menghujat, tetapi banyak pula yang membela. Bahkan tidak sedikit yang menduga bahwa kasus ini dimunculkan guna menenggelamkan beragam isu sensitif yang tengah menjadi pusat perhatian publik. Sebutlah salah satunya kasus penghinaan dan penistaan yang dilakukan oleh Holywings terhadap Baginda Nabi Saw.
Di sisi lain, elite penguasa pun tampak terburu-buru menanggapi kasus ACT ini. Baru tiga hari kasus ini muncul, tetiba Kementerian Sosial mencabut izin Penyelenggaraan Pengumpulan Uang dan Barang (PUB) yang telah diberikan kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) Tahun 2022. Pencabutan izin ACT ini tercantum dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022.
Menteri Sosial Ad Interim, Muhadjir Effendi, menyebut alasan pencabutan izin ACT dengan pertimbangan karena adanya indikasi pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Sosial, sampai nanti menunggu pemeriksaan dari Inspektorat Jenderal baru akan ada ketentuan sanksi lebih lanjut. (CNNIndonesia.com, 5/7/2022).
Tidak hanya izin yang dicabut. Terbaru, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga menghentikan sementara transaksi 141 CIF pada lebih dari 300 rekening yang dimiliki oleh lembaga filantropi tersebut. Jumlah itu bertambah dari yang sebelumnya 60 rekening.
Dari data yang ditemukan oleh PPATK ini, Densus pun mengendus dugaan adanya transaksi yang berkaitan dengan pendanaan terorisme. Transaksi ini berupa aliran dana ke beberapa negara yang masuk dalam kategori risiko tinggi terkait kasus terorisme. (CNNIndonesia.com, 7/7/2022).
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Inilah yang menimpa ACT hari ini. Herannya, elite penguasa ramai-ramai gerak cepat mengusutnya. Belum juga dilakukan pemeriksaan, buru-buru mencabut izinnya. Lantas memblokir rekeningnya. Dugaan keterlibatan dengan aksi terorisme pun di-blow up habis-habisan padahal belum terbukti benar. Betul-betul profesional dan patut mendapat penghargaan.
Coba kalau aksi gerak cepat nan profesional ini juga diberlakukan terhadap kasus penyelewengan dana rakyat lainnya. Kasus dugaan korupsi di Kementerian Agama terkait dana bantuan pesantren senilai sekitar Rp2,5 triliun misalnya. (bbc.com, 1/6/2022). Sebab, sudah sebulan berlalu sejak muncul di permukaan, tetapi nyaris tak terdengar pengusutannya.
Elite penguasa semestinya berlaku sama dalam mengusut tuntas segala kasus penyelewengan dana milik rakyat. Jangan standar ganda donk yang diberlakukan. Penyelewengan dana umat lembaga filantropi diusut hingga tuntas, eh penyelewengan dana rakyat yang dilakukan oleh elite pejabat malah diusut malas-malasan. Jelas tidak adil dan mencederai keadilan.
Dari kasus ACT, publik pun jadi tahu bahwa tuan-tuan penguasa ternyata mampu kok cepat dan tangkas mengusut kasus penyelewengan dana rakyat. Mampu kok semua struktur negara bekerja sama dengan apik dan sinergi. Semestinya tindakan yang sama juga dilakukan dalam mengusut kasus korupsi yang menggurita di negeri ini. Betul?
Terlepas dari kasus yang menimpa ACT. Menjamurnya lembaga filantropi dalam naungan kapitalisme, sejatinya menjadi alarm kemandulan negara dalam menjalankan perannya sebagai pengurus urusan rakyat. Peran negara sebagai garda terdepan dalam menangani beragam bencana dan masalah sosial-kemanusiaan, acap kali digantikan perannya oleh lembaga filantropi ini.