Alat Politik Robot ‘Remote Control’ RG
Juga lembaga kemiliteran TNI yang meski sudah tidak melekat lagi di badannya jelas pernyataan Moeldoko yang membawa-bawa atribut bekas prajurit jenderal TNI yang sudah lazim mempertaruhkan nyawa akan memberikan dampak “preseden buruk” kepada citra TNI yang harusnya bersikap lebih “bermartabat” alias dignity smelting ketika sudah melebur dan bersenyawa dengan aura civiliant.
Faktualisasinya itulah RG simbolisme dan analogisme kekuatan perlawanan “civiliant value”, meski bukan relawan, ormas dan partai yang menjadi infrastruktur politik demokrasi, RG sendirian pun mampu melawan rezim penguasa yang cenderung otoritarianisme:
Yang sudah semakin menjauh dari pijakan nilai dan tujuan demokrasi. Terlebih, dengan nilai dan tujuan demokrasi murni Pancasila sendiri.
Sudah menjauhnya negara ini dari “democracy and civiliant value”, entahlah apa itu keceplosan atau keluar dari “self-concentia” atau di luar kesadaran dirinya, posisi alat politik robot remote-control yang dinyatakan oleh Moeldoko justru dialami sendiri oleh negara yang kepemimpinan pemerintahannya Presiden Jokowi dikarenakan tengah dikendalikan oleh kekuatan oligarki korporasi.
Sehingga, dirasakan gelagatnya sekarang, nyaris negara ini tengah menjelma menjadi negara oligarki. Terutama, pengaruh dan kooptasi oligarki 9 Naga China. Yang nyatanya memberi jalan sangat mudah masuknya investasi negara RRC Tiongkok yang menurut RG ini sangat berbahaya dari segi kultural, geopolitik dan demografi dikarenakan pihak investor negara RRC diberikan hak previlege hingga 180 tahun.
Itu sama saja dengan menjual kedaulatan negara. Ada apa Presiden Jokowi sebegitu ngotot dengan IKN sebegitu pula memberikan privilis nyaris seperempat abad?
Dan itu boleh jadi secara historis dan rekam jejaknya, diduga dan tak terpungkiri, kelahiran kepemimpinan Presiden Jokowi itu dibidani oleh oligarki korporasi. Itu terjadi ketika proses intermediasi kepemimpinannya dari Gubernur DKI ke kursi singgasana Presiden. Nah!?
Makanya, seperti merekonstruksi untuk mempresisi posisi turunan-turunan oligarki dengan menggunakan alat politik robot remote control itu betapa Istana kemudian menjadi faktor pengendali utama dari seluruh kepentingan lembaga-lembaga dan komisi-komisi tinggi negara dengan turut campur oleh, dari dan untuk oligarki:
DPR, MK dan MA nyaris sampai tak berfungsi sebagai lembaga negara mewakili rakyat yang mengawasi dan menelisik, kecuali satu hanya menuruti “kendali” dan “komando” Istana yang sudah dikendalikan oleh oligarki itu.
Maka, jadilah produk-produk legislasi UU banyak yang sungsang dan timpang, seperti yang telah dilansir dan dikritisi oleh RG dalam kasus membaur dengan hinaan RG, yaitu UU Omnibuslaw dan UU IKN.
Sampai alat politik remote control itu berada di Kabinetnya sendiri dengan jejaring bisnis dan komersialisasinya kemana-mana. Lahirlah ada adagium Kabinet ini disebut “Kabinet Penguasa-Pengusaha” yang dikuasai pelakunya para menterinya.
Juga kesungsangan UU KPK celah-celahnya telah menyemaikan dan merebakkan korupsi begitu masif dan struktural di segala lini kepentingan pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Jokowi: