Amal: Antara Ikhlas dan Riya
Sering kali, ketika kita memberi sesuatu, kemudian ditanya “Apakah kamu ikhlas?” dengan entengnya kita menjawab “ Aku ikhlas..”. Padahal, dengan jawaban itu menunjukkan ada satu titik riya’ atau sombong di hati.
Begitu juga, ketika kita memberi hadiah pada orang lain, baik teman, saudara atau guru, misalnya. Ternyata ada orang lain yang mengakui bahwa hadiah itu darinya. Apakah kita bisa menerimanya begitu saja? Tentu tidak.
Mungkin saja kita dengan segera mengambil langkah, menggugat si pembohong itu dan memintanya untuk mengklarifikasi kebohongannya. Atau paling tidak, dalam benak kita ada rasa tidak suka terhadap orang yang mengakui hadiah tersebut. Walaupun pada akhirnya kita harus menerima kenyataannya. Itu berarti kita belum ikhlas.
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ
“Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istikamah), melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar).” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa ikhlas adalah adanya tujuan manusia dalam segala amal dan ketaatannya semata hanya taqarrub (mendekatkan diri) pada Allah dan mengharap ridhanya. Bukan tujuan untuk dilihat ataupun mencari pujian manusia.
Mengutip dari ceramah seorang sufi besar dari Mesir Syekh Dzunnun al-Mishri, dalam Risalah al-Qusyairiyah ikhlas terbagi menjadi tiga tingkatan:
Pertama: Tidak ada tujuan lain dalam ketaaatannya selain taqarrub pada Allah.
Kedua: Beramal karna mengharap pahala dan takut siksa.
Ketiga: Beramal agar Allah mencukupi hidupnya didunia tanpa berpangkutangan pada manusia.
Dari tingkatan ikhlas ini, dapat dipahami bahwa kita dilarang beramal tanpa tujuan taqarrub kepada Allah dan mencampurkan niatan dunia, karena itu dapat menolak amal baik dan menunjukkan kurangnya keikhlasan.
Suatu ketika, Sahabat Abu dzar r.a bertanya pada baginda Nabi Muhammad Saw. Mengenai ikhlas, lalu nabi menjawab, “tunggu hingga aku bertanya pada Jibril”…
Tapi ketika Nabi bertanya pada Jibril, Jibril juga menjawab, “tunggu hingga aku bertanya kepada Robbul Izzah”.
Hingga pada akhirnya Allah menjawab, “Ikhlas adalah salah satu di antara rahasia-rahasiaku yang aku letakkan pada hati seorang hamba yang aku kehendaki.” (Mengutip hadist dari kitab al-Risalah al-Qushairiyah)
Hal ini menunjukkan bahwa ikhlas adalah riyadlotunnafsi yang paling sulit. Karna tidak ada yang tahu kadar keikhlasan seorang hamba, bahkan dirinya sendiri.