Amal: Antara Ikhlas dan Riya
Mengutip dari perkataan Imam Zainuddin bin Ali dalam Manzhumah Hidayatul Adzkiya’:
“لَاتَطْلُبْنَ عِنْدَ المُهِيْنُ مَنْزِلَهُ اِنْ كُنْتَ تَطْلُبُ عِنْدَ ناَسٍ مَنْزِلًا”
“Jangan sekali-kali engkau mengharap derajat mulia disisi Allah, jika engkau masih mencari kedudukan disisi manusia.”
Dari sedikit ini, dapat disimpulkan bahwa sulitnya mencapai keikhlasan dan hinanya riya’harus menjadi pengingat bagi kita untuk tidak ragu dalam beramal. Ketakutan akan niat yang tidak ikhlas atau dianggap riya’ seharusnya tidak menghalangi kita dari berbuat baik.
Sebaliknya, kita perlu terus beramal dengan tulus, meluruskan niat, dan menghilangkan sifat riya’dari hati. Keikhlasan dalam beramal bukan hanya membawa kita pada kebahagiaan sejati, tetapi juga meningkatkan kepuasan dalam hidup kita.
Banyak yang merasakan kebahagiaan yang lebih besar ketika berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan. Dengan demikian, keikhlasan tidak hanya memperbaiki hubungan kita dengan Allah, tetapi juga memperdalam hubungan kita dengan diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Untuk melatih keikhlasan, kita bisa memulai dengan hal-hal kecil, seperti menyembunyikan amal baik kita dari sorotan publik. Misalnya, jika kita bersedekah, lebih baik dilakukan secara diam-diam tanpa harus mempublikasikannya di media sosial. Juga, penting bagi kita untuk selalu merenungkan niat sebelum beramal. Apakah kita benar-benar melakukannya karena Allah, ataukah karena ingin dipuji orang lain?
Selain itu, kita bisa melatih hati untuk tidak terlalu peduli dengan apresiasi atau pengakuan manusia. Ketika kita melakukan sesuatu hanya untuk Allah, kebahagiaan yang muncul dari keikhlasan tersebut akan terasa lebih mendalam dan tidak tergantikan oleh pujian sesaat dari manusia. []
Azza Shofia Rahmada, Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.