#Ramadhan Berkah 1446 HOASE

Amar Ma’ruf Nahi Mungkar di Bulan Ramadhan

Puasa sejatinya bermuara pada satu tujuan yakni ketaatan paripurna pada Allah SWT. Nantinya ketaatan ini diharapkan membentuk pribadi Muslim yang istiqamah dan mampu menerapkan aturan syara’ dalam kehidupan sehari-hari tiada kenal waktu. Sekalipun sebelas bulan ke depannya bukan lagi bulan mulia, segala amal ibadah tidak lagi dilipatgandakan Allah layaknya Ramadhan.

Ketaatan menyeluruh menjadi bekal Muslim untuk meniti kehidupan agar selamat dari keburukan dan kebinasaan. Sudah lazim umat yang cenderung hidup di negara sekuler akan fokus beribadah dan menghindari kemaksiatan di bulan mulia, namun lucunya tiada rasa bersalah, tidak takut konsukuensi dosa jika keburukan itu dilakukan di bulan lain. Padahal, sanksi tegas Allah pada setiap pelanggaran syariat tetap berlaku sepanjang waktu. Jadi paradoks atau bertentangan, jika Muslim hanya berlomba-lomba dalam kebaikan di bulan suci Ramadhan, namun di kesempatan lain hukum-hukum Allah dilanggar.

Tak heran, jika banyak individu yang ketika berpuasa menarik diri seolah ingin fokus beribadah, namun di sisi lain tidak menjadikan latihan di bulan Ramadhannya sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan di bulan-bulan lainnya. Akibatnya, di luar Ramadhan masih bermasalah dengan tetangga, mudah memusuhi orang lain, ghibah, fitnah, khalwat di ruang publik, berburuk sangka, bahkan korupsi, dan lain-lain.

Beberapa riwayat memang menyebutkan para salafussalih berlomba-lomba melakukan kebaikan mengisi Ramadhan. Diriwayatkan dalam kitab Hilyah Al Aulia halaman 302, Aswad bin Yazid An Nakha’i Al Kufi bahkan mampu menghatamkan Al-Qur’an setiap dua hari. Ia hanya tidur pada waktu antara Magrib dan Isya’. Qotadah Bin Diamah, sekali khatam dalam tiga hari.

Meski begitu ada ulama yang mengisi Ramadhan dengan membuka majelis bada tarawih. Sebut saja, Al Qazwini (590 H), ulama bermazhab Syafi’i yang selalu memberikan kajian tafsir Qur’an, surah demi surah, bahkan tak jarang hingga dini hari. Pada masa itu ilmu mungkin sangat mudah didapatkan dan jarang sekali seorang Muslim melakukan maksiat di bulan Ramadhan. Pemahaman umat masih lurus dan sistem yang diterapkan memiliki kekuatan menjaga akidah umat.

Sangat berbeda dengan hari ini, ketika ilmu agama sekadar diterapkan dalam beribadah mahdah, namun ketika berhadapan dengan masalah sosial, ekonomi di tengah masyarakat aturan syara ditinggalkan. Tak heran, kebenaran Islam menjadi kabur apalagi ketika umat terkontaminasi paham-paham lain di luar islam seperti kapitalisme, pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Padahal, ilmu menjadi landasan penting bagin iman dan amal. Rasulullah Saw berpesan, “Berilmulah kamu sebelum berbicara, beramal dan beraktivitas.” (HR Bukhari).

Di sisi lain yang menarik, ada pula yang berdalih ingin mencapai target Ramadhan pribadi tapi malah enggan dalam menjalankan tugas berdakwah. Sebagai contoh nyata, kita memilih fokus pada target-target ibadah pribadi, namun abai terhadap urusan lain karena mengkhawatirkan nilai puasanya berkurang bahkan rusak. Semisal absen halaqah, kegiatan syiar Islam, bungkam saat sekitar terjadi kemaksiatan seperti berzina dan berkhalwat di bulan Ramadhan, melihat tetangga atau saudara makan minum di tempat umum tanpa uzur syar’i.

Contoh lain ketika kesehariannya vokal mengkritisi pemerintah di sosial media, tapi saat Ramadhan enggan mengomentari sekalipun kezaliman terjadi di depan mata. Seolah selama ini kritik yang dia lakukan di dunia maya adalah kesia-siaan dan sebaiknya ditinggalkan di bulan puasa. Ini ironis. Padahal dakwah meluruskan pemikiran yang salah di tengah masyarakat adalah bagian dari amar maruf nahi mungkar itu sendiri.

Bukan berarti mendulang pahala Ramadhan dengan memperbanyak ibadah sendiri itu tak baik, hanya saja sedikit rancu jika ketika kita memilih menyibukkan diri, sementara di sekitar terjadi keburukan lantas diam, alih-alih menjaga diri yang tengah bershaum. Apakah pemikiran kita berarti menyamakan amar ma’ruf nahi mungkar jika dilakukan di hari lain seolah kurang kerjaan, bahkan bisa jadi berdosa karena berpotensi mengundang keributan? Rancu bukan?

Rasulullah Saw pernah bersabda, “Sungguh kalian sekarang benar-benar berada di sebuah zaman yang banyak orang-orang faqihnya, sedikit para penceramahnya, banyak para pemberi, dan sedikit para peminta-minta. Amal pada masa ini lebih baik dari pada ilmu. Akan datang suatu zaman nanti di mana sedikit orang-orang faqihnya, banyak penceramahnya, sedikit para pemberi dan banyak peminta-minta. Ilmu pada masa itu lebih baik daripada amal.” (HR Tabrani 3111).

Mungkin, saat inilah yang disebut ilmu lebih baik daripada amal. Bukan berarti amal tidaklah penting, akan tetapi kebutuhan ilmu lebih besar untuk bisa mewujudkan ahsanul amal dan pencerahan pada umat agar mereka senantiasa terikat pada hukum-hukum agama sebagaimana yang Allah perintahkan.

Perumpamaan manusia yang menaati aturan Allah dan pelanggarnya bagaikan satu kaum yang menumpang kapal laut. Sebagian menempati dek atas, sebagian lagi di bawah. Penumpang yang bawah jika ingin mengambil air atau melihat langit, tentu harus naik ke atas dan melewati penumpang kapal yang di bagian atas. Jikalau penumpang bawah ingin berbuat sekehendak hati dengan melubangi kapal untuk mencapai keinginannya, dan penumpang bagian atas diam saja melihat apa yang dilakukan para penumpang kapal di bagian bawah, tentu mereka semua akan tenggelam dan binasa akibat kebocoran kapal.

Allah SWT berfirman dalam surah Ali Imran ayat 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dakwah mengajak umat dan penguasa untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah merupakan salah satu dari sekian banyak kebaikan yang menjadikan seorang individu dan masyarakat tidak terjatuh dalam kebinasaan. Namun sayangnya terkadang enggan dilakukan demi dalih menjaga kesucian Ramadhan.

Padahal penerapan syariat secara kaffah tidak hanya untuk individu melainkan seluruh umat Muslim adalah wujud nyata ketaatan dan ketakwaan kita pada Allah SWT, dan itu tidak bisa diwujudkan dengan berusaha saleh sendirian tanpa lingkungan dan sistem yang mendukung. []

Mega Marlina,S.P., Aktivis Dakwah di Depok.

Artikel Terkait

Back to top button