AMIN Bisa Kalah, Kalau Sikap PKB Masih seperti Gus Yusuf
Karena itu, lanjut Gus Yusuf, Anies mengatakan jika dirinya jadi berpasangan dengan Gus Imin maka terserah PKB dirinya akan di-make up-seperti apa. Bahkan, Anies mengaku siap jika dirinya disuruh memimpin tahlil. Tak hanya itu, Gus Yusuf bahkan mengeklaim Anies siap diadu mimpin tahlilan dan shalawatan dengan Ganjar dan Prabowo. “Ini soal akidah sama, sama-sama ahlussunnah,” kata Gus Yusuf.
Belum selesai sampai di situ. Gus Yusuf juga mengaitkan dengan ormas HTI dan FPI. Padahal dua ormas ini sudah bubar. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan, sementara Front Pembela Islam (FPI) Surat Keteterangan Terdaftar (SKT)-nya di Kemendagri tidak diperpanjang.
Menurut hemat saya, ini merupakan penjelasan Gus Yusuf yang paling sensitif dalam masa menjelang Pilpres seperti saat ini. Gus Yusuf mengeklaim bila Anies mengatakan, apa yang diungkapkan ini rahasia. Anies, kata Gus Yusuf, menyebut bila pentolan kelompok 212 masih di barisan 08 (Prabowo Subianto). Hanya disuruh tiarap dulu.
“Karena ngopeni (merawat) gerakan itu cost-(biaya)nya besar, saya tidak kuat jujur Gus. Yang kuat itu ya beliau itu (Prabowo, red). Jadi rumangsane (apa dikira) Allahu Akbar itu murah apa, itu cost-nya besar. Mereka masih disana,” kata Gus Yusuf.
Bagian Gus Yusuf yang menceritakan klaim jawaban-jawaban Anies itulah yang menurut saya bermasalah. Prinsipnya, silakan saja Gus Yusuf mengidentikkan Anies dengan kaum Nahdliyin. Itu sah-sah saja untuk meyakinkan warga Nahdliyin agar memilih AMIN. Sayangnya, pada bagian kedua di atas justru menurut saya nuansanya fitnah, menyakitkan kelompok 212 dan memecah belah pendukung AMIN.
Pertama, ungkapan jika dalam Pilgub DKI Anies bilang hanya punya Allahu Akbar ini berbahaya. Pernyataan ini jadi membenarkan bila Anies menggunakan “politik identitas” dalam Pilgub 2017 lalu.
Sependek yang saya ketahui tentang Anies, dia tidak pernah menggunakan diksi tersebut. Apalagi Anies-Sandi dalam kampanye Pilgub DKI Jakarta mengusung isu ekonomi dan kesejahteraan. Makanya slogan mereka “Maju Kotanya, Bahagia Warganya.”
Secara faktual, pada Oktober-Desember 2016, saat respon terhadap kasus penistaan agama oleh Ahok terus mencuat dan membesar dengan Aksi Bela Islam Jilid I-III, tidak ada kaitan antara kampenye Pilgub dengan Aksi Bela Islam. Anies-Sandi dan partai-partainya berkampanye dengan isu yang mereka angkat, sedangkan umat Islam yang disebut kelompok 212 itu juga berjalan sendiri dengan agenda mereka.
Ini terbukti sepanjang ABI, tidak pernah Anies-Sandi terlibat atau datang. Dalam Aksi Super Damai 2 Desember 2016 tidak ada yang namanya Anies di panggung aksi di Lapangan Monas. Yang justru ada adalah Presiden Jokowi, Wapres JK, Menkopolhukam Wiranto, Panglima TNI, dan sejumlah menteri lainnya.
Kedua, soal tahlilan dan shalawatan, apalagi ingin diadu segala, saya menduga tidak seperti itu. Bukan karakter Anies menantang-nantang dalam urusan seperti itu.
Ketiga, terkait tuduhan pentolan 212 masih di kubu Prabowo, ini juga ngawur bahkan menjurus fitnah. Sebab pasca bergabungnya Prabowo Subianto ke pemerintahan Jokowi, kabarnya sudah tidak ada lagi komunikasi dengan kelompok 212. Elite-elite 212 juga sudah tidak ada lagi yang berada di dekat Prabowo. Kecuali satu atau dua orang yang sejak awal mengeklaim telah dekat dengan Prabowo. Anies pun bisa dengan mudah tahu persis soal itu karena ia bisa mengakses Imam Besar Habib Muhammad Rizieq Syihab secara langsung.
Karena itu, mengatakan Anies seolah-olah menyebut “ngopeni” (merawat/menghidupi) kelompok 212 itu biayanya besar, itu patut diduga sebagai fitnah belaka. Tidak ada jejak rekam Anies berbicara dengan nada kalimat memojokkan kelompok tertentu seperti itu. Apalagi kaitannya dengan ‘cost’. Anies yang saya pahami adalah sosok pemimpin yang merangkul semua, menjangkau semua, dan tidak mengotak-kotakkan. Narasinya keadilan, kesetaraan.
Anies tidak pernah bernarasi memecah belah meski ia sering dipojokkan dengan pertanyaan-pertanyaan soal itu. Semua kelompok, kata Anies, adalah warga negara. Baik yang di kanan maupun kiri.