Anas Angkat Suaranya, tapi Dunia Menolak Mendengar
Anas al-Sharif adalah suara Gaza. Ia adalah inspirasi dan teladan. Pembunuhannya tidak akan membungkam kami.

Mereka tidak pantas menerima air matamu, Anas! Mereka tidak pantas menerima pengorbananmu demi mereka mengetahui kisah kami. Mereka tidak mendengar karena memang mereka menolak mendengar.
Engkau telah meninggikan suaramu, Anas, tapi engkau sedang berbicara kepada mereka yang tak punya hati nurani.
Saya berharap perang ini berakhir sebelum engkau syahid, agar saya bisa mencarimu di Gaza dan berkata bahwa suara kami telah berhasil, bahwa suara itu telah sampai ke dunia luar dan membawa perubahan. Saya akan mengatakan bahwa engkau adalah panutan saya dan karya-karyamu membuat saya terus bertahan. Dan jika saat itu engkau tersenyum lalu memanggil saya “rekan”, saya akan menangis bahagia.
Liputanmu telah berakhir, Anas, tapi perang genosida ini belum. Hari ini, kami hanya bisa menyaksikan dengan tak berdaya ketika penjajah dengan pongah membanggakan bahwa mereka menargetkanmu di hadapan seluruh dunia—dunia yang engkau pinta untuk peduli hingga napas terakhirmu. Negara-negara di seluruh dunia tetap diam; bagi mereka, kesepakatan ekonomi dan kepentingan politik lebih berharga daripada nyawa manusia.
Namun, penjajah tidak akan membungkam kami, Anas. Mereka ingin kami mati tanpa suara karena suara kami—meski penuh erangan kesakitan dan tangisan kehilangan—mengganggu, menghalangi ambisi genosida mereka.
Gaza tidak akan melahirkan lagi sosok seperti dirimu, Anas, atau seperti penulis dan penyair Refaat Alareer, atau seperti direktur rumah sakit Marwan al-Sultan. Penjajah menargetkan yang terbaik dan terpintar, mereka yang telah meninggikan suara dan menunjukkan pada dunia apa yang bisa dilakukan oleh orang Palestina yang bermartabat dan berintegritas.
Namun kami tidak akan diam setelah pembunuhan brutal ini. Meski kami tahu dunia tidak akan mendengar, kami akan terus berbicara—karena itu adalah takdir dan tugas kami. Kami, rakyat Palestina yang masih hidup setelah genosida ini, harus memikul warisan para syuhada.
Bagi saya, itu berarti berbicara, menulis, dan mengungkap kejahatan penjajahan yang berdarah dan brutal ini… hingga hari yang engkau impikan, Anas—hari ketika genosida ini, yang paling mengerikan dalam sejarah modern, berakhir. Hari ketika engkau kembali ke kampung leluhurmu di al-Majdal dan saya kembali ke desa saya, Yibna. []
Sumber: AL JAZEERA