RESONANSI

Anies Baswedan dan Calon Presiden Partisipasi Publik

Pertanyaannya apakah ini bisa dijadikan suatu satu-satunya landasan awal bukti dari prereferensi politik pembenaran bahwa memang benar terjadi adanya konspirasi antara oligarki partai politik dan konglomerasi yang mengelaborasi jalannya kepentingan-kepentingan politik-ekonomi dalam kebijakan dan keputusan pemerintahan Jokowi semenjak dari awalnya, selama ini dan hingga kini?

Sebaliknya, pertanyaannya itu bagi Anies malah menjadi jawaban bersifat antitesis bahwa kemenangan meraih jabatan Gubernur di Pilkada DKI 2019 itu adalah murni dan geniun hasil ekstraksi politik suara kedaulatan rakyat tanpa ketularan sepercik pun noda konspirasi semacam mereka itu.

Ekspresi hasil kinerja program kerja Anies lainnya yang memberi kesan “pertentangannya” semacam isu “regregasi politik”dengan pemerintahan pusat Jokowi, adalah realitas bahwa motto “Maju Kotanya, Bahagia Warganya” itu terimplementasi dalam lingkup ruang terasakannya kesetaraan dan keadilan bagi seluruh warganya. Dilalahnya itu yang menjadi bagian-bagian penting “oposite” program yang hasilnya “berlawanan itu”, seperti: ketika pemerintah cenderung impor terhadap pengadaan kebutuhan bahan pokok konsumsi, Anies justru banyak mendirikan pusa-pusat food stasion di Jakarta pengadaan bahan, beras, garam dan gulanya berasal dari antar-daerah domestik di Jawa. Atau ketika cenderung nilai tarif dasar listrik terus meningkat, justru bagi warga Jakarta menikmati penurunan tarif PDAM sangat signifikan dari Rp1250,-/m3 menjadi hanya Rp25/m3 saja.

Ketika di tingkat nasional tengah ribut masalah JHT, Anies menaikkan upah buruh. Bahkan, Anies sejak masa kepemimpinannya sudah membebaskan bebas pajak PBB bagi para pensiunan veteran yang berjasa bagi bangsa dan negara.

Serta yang membuat menjadi bangga dan bahagia warganya disediakan fasilitas sarana sinergitas transportasi massa di Jakarta dengan tujuan hingga lintas lingkaran hinterlandnya Bodetabek dikenakan tarif sangat murah, bahkan sebagian digratiskan secara cuma-cuma. Sebaliknya, jalan-jalan tol milik pemerintah pusat yang menjadi jalan arteri primer di dalam wilayah Jakarta tidak pernah menurunkan tarifnya, malah cenderung meningkat naik terus.

Menjelang menghabiskan periode waktu jabatan Anies yang masih tengah menyisakan dua proyek besar membangun “Sirkuit Formula E berikut event penyelenggaraan perdananya” dan “ Jakarta International Stadium” juga masih tetap menyiratkan pesan isu yang sama: jika Pemerintahan Jokowi tidak mau kalah telah membangun sirkuit Mandalika untuk penyelenggaraan motor grandprix 500 CC dunia, itu dianggap oleh banyak kalangan publik masih belum hal yang luar biasa, malah menjadi premis dianggap “ tak perlu” dikarenakan balapan Motor GP 500 itu hanya simbol elitis, seremoni-seremoni, atraktif dan gengsi kelompok hedonis terbatas komunitas kapitalis yang sudah tentu tidak akan menjangkau kesetaraan dan pemerataan ke seluruh lapisan masyarakat. Jokowi dengan pernis demikian malah dengan bangganya melakukan parade deviley dengan para pembalapnya.

Tetapi, Anies membangun dua proyek itu memberi pesan jauh melompat ke depan sampai 30 tahun ke depan bahwa infrastruktur yang dibangunnya itu menjadi prereferensi bahwa mobil, motor atau jenis noda kendaraan lainnya harus harus dipersiapkan oleh Indonesia untuk melakukan transformasi energinya dari basis bahan bakar fosil ke energi listrik yang merupakan energi terbarukan untuk masa depan.

Demikian pula JIS semua infrastrukturnya dibangun dengan teknologi elektronik dan mekanik digital yang sudah menyentuh bagaimana cara proyek-proyek itu harus diwujudkan jauh ke depan.

Hebatnya lagi itu dibangun oleh tangan-tangan tranpil, cerdas dan pintar para insinyur asli dan geniun di dalam negeri sendiri, di tengah-tengah situasi kecenderungan derasnya penggunaan tenaga asing yang digunakan oleh pemerintahan Jokowi. JIS yang super megah dengan menggunakan teknologi canggih yang melompat jauh hingga 2035 itu, adalah justru tempat olah raga yang paling merakyat di dunia, sepak bola, sehingga secara egaliter mengandung kesenyawaan nilai kesetaraannya bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat, tidak terkesan gengsi, eksklusif dan membuat mahal tak terjangkau, seperti pembangunan dan penyelenggaran Grand Prix Moto GP itu.

Bahkan, Anies sungguh luar biasa, kota Jakartalah yang paling siap untuk berkiprah di ajang kompetisi kemajuan antarkota Asia yang disebut sebagai kota “Smart City” dan “City Go Green” yang merupakan bentuk ciri khas baru kota-kota megapolitan modern di masa depan. Hebatnya, semua dibangun seolah senyap, tanpa pencitraan. Realitasnya Anies selalu dan sudah lebih dari puluhan mendapatkan penghargaan atas keberhasilan membangun Jakarta itu.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button