Anies dan Intelektualitas Kenegarawanan
Ini tentang bobot dan kualitas kepemimpinan negara masa depan. Pilihannya akan dijadikan seorang calon kepala negara suatu negara “archipelago” dengan banyak kepulauan seperti Indonesia.
Yang dalam salah satu rekam jejak sejarahnya, atas kepemimpinan Soekarno salah satu The Founding Father, analoginya boleh disebut sebagai “Wax Country”: negara lilin yang pernah menerangi kegelapan di nyaris separuh negara di dunia.
Khususnya, ketika betapa hitam pekatnya kegelapan akibat kemiskinan dan keterbelakangan yang sebagian besar telah melanda bangsa-bangsa di Asia-Afrika saat itu.
Atas inisiasi dan kepemimpinan mempersatukan “sang intelektual oratoris”, nyala lilinnya menjadi “jalan terang” yang tengah menggelorakan semangat bangkitnya revolusi kemerdekaan serempak melalui Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955:
Untuk menyuarakan cita-cita meraih kemerdekaan itu dari segala bentuk infiltrasi, aneksasi, diskriminasi, invasi dan hegemoni, diakibatkan penjajahan imperialisme dan kolonialialisme dari bagian dunia lainnya, Eropa bersama sekutunya Amerika Serikat.
Tetapi, kemudian hingga melampaui kurun lebih dari 50 tahun setelahnya —bukannya Indonesia menjadi negara digdaya dan digjaya yang maju dan berkembang di segala bidang, malah meleleh lilinnya, bahkan nyalanya semakin meredup nyaris mati:
Indonesia masih tetap melambat —jika tidak dibilang jalan di tempat, dalam mengejar “kesejahteraan” yang seolah “semu” bagi kepentingan rakyatnya sendiri —komparasikan kini dengan berkemajuan negara Korea Selatan, Singapura, Hongkong, India dan atau Afrika Selatan.
Indonesia masih tak mampu mengentaskan “keseluruhan” kemiskinan dan keterbelakangannya: jurang itu masih menganga dengan tingkat disparitas yang sangat dalam antara masyarakat kaya dan miskinnya.
Meskipun, negara ini diidentifkasikan sangat super kaya dengan segala potensi SDA-nya baik di daratan maupun di lautannya. Apa ada yang salah atas pengelolaan SDA negara ini sepanjang tujuh presiden sampai rezim berkuasa Jokowi memimpinnya?
Ini terbuktikan negara ini pernah menjadi anggota OPEC, salah satu negara produsen penghasil minyak terbesar di dunia.
Bahkan, mungkin kita juga menjadi produsen logam mulia emas terbesar di dunia bilamana tidak dikangkangi oleh PT. Freeport-Amerika Serikat: tanda dan fakta masih adanya sisa-sisa hegemoni penguasa ekonomi dunia Amerika Serikat, justru saat negara ini sudah meraih kemerdekaannya.