Anies dan Intelektualitas Kenegarawanan
Belakangan yang paling mutakhir di kepemimpinan era Jokowi, negara ini menjadi penghasil nomor satu dunia kelapa sawit.
Dan ketika dunia tengah mengalami transformasi energi terbarukan, negara kita pun masih menjadi produsen penghasil nomor satu mineral energi fosil batu bara.
Kemudian disusul penghasil no. 1 di dunia tambang nikel, bauksit dan tembaga, sebagai bahan baku baterei energi renewable untuk revolusi perubahan industri dan teknologi otomotif mondial dengan energi listrik.
Tetapi, nyatanya kenapa semua itu tak memberi impact positif jangka panjang yang begitu berarti bagi kemajuan dan kesejahteraan negara dan rakyat ini?
Penyebabnya, ternyata seperti menjadi sejarah kelam dalam “lingkaran setan” selalu terjebak dan terperangkap ke dalam kubangan kekuasaan hegemoni baru dan baru lagi berupa kehadiran kekuatan oligarki konglomerasi korporasi:
Yang dahulu dikuasai oleh kekuatan negara-negara Super Power “asing” (masih USA dengan sekutunya Eropa), sekarang kekuatan super negara “Para Naga Aseng” justru oleh rezim berkuasa Jokowi diberikan kebebasan “menggila” :
Atas izin konsesi yang sangat luas atas lahan dan panjang waktunya mengeruknya dari bumi ibu pertiwi —atas nama UU Omnibuslaw yang sesungguhnya merupakan ejawantah hukum konspiratif yang ujungnya seluruhnya bermuara di bawah lipatan ketiak busuk oligarki.
Sehingga, dampak investasi yang dilingkari cengkeraman tangan-tangan setan ini, telah menjadi alat perampokan sangat luar biasa besar-besaran pendapatan ke luar negeri.
Parahnya, seiring oligarki korporasi yang berasal dari China-Tiongkok itu, dewasa ini telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi raksasa yang boleh jadi telah dan akan menggeser kekuatan ekonomi USA pula. Inilah pula yang membuat Indonesia “mati kutu” untuk melepaskan rantai kekang dari keterbelitannya.
Maka, dekade ke depan permasalahan negara ini akan semakin kompleks, tentu saja dengan segala efek dan dampak complicated-nya.
Terutama, yang perlu diwaspadai tingkat debt ratio dan corruption ratio yang keduanya ternyata terus semakin membengkak dan meluas secara kultural dan struktural yang bisa mengancam kepada “kebangkrutan” negara.