Anies dan Intelektualitas Kenegarawanan
Event transisi kepemimpinan demokrasi harus menjadi momentum baru untuk melakukan restorasi perubahan signifikan. Sekaligus, memilih kepemimpinan baru yang esensi dan substansi mengacu kepada kepentingan keniscayaan dan kepercayaan akan perubahan yang memang tengah didamba-dambakan oleh kekuatan besar kedaulatan rakyat yang selama satu dekade itu terasakan menghilang dikarenakan represivitas rezim penguasa Jokowi yang otoritarianisme.
Dan untuk mendapatkan kepemimpinan dengan tujuan sedemikian di atas tadi haruslah diuji dengan kecakapan dan kemampuan mumpuni khususnya terhadap ruang lingkup yang menjadi prioritas, pokok, penting dan mendasar: yaitu, intelektualitas kenegarawanannya.
Intelektualitas itu bermakna seorang Presiden itu harus selalu memberi solusi terbaik atas segala permasalahan kekinian kenegaraan secara ilmiah beriringan dengan selalu tegak dan kokohnya “vitality law enforcement” : selalu berpikir berwawasan akal sehat, rasional dan berkemandirian serta profesional untuk selalu berdampingan dengan tautan taat aturan sesuai konstitusi hukum dan perundang-undangannya.
Bukan sebaliknya, menunjukkan karakter dan perilaku kepemimpinan yang hanya bakal menghancurkan “self dignity nya berorientasi kepada kepentingan kekuasaannya disalahgunakan melakukan konspiratif, kolutif dan nepotis terhadap kepentingan yang keberpihakan —yang penyakitnya selama ini kepada “vested interested” oligarki, bukan untuk kepentingan rakyat yang sesungguhnyalah yang berdaulat.
Sedangkan, sifat dan sikap kenegarawanan, berarti kinerjanya berorientasi selalu kepada kepentingan “equal” dan “equality”-nya. Memperhatikan semua kepada kepentingan kesetaraan, keadilan dan persatuan-kesatuan.
Maka, hal-hal yang bersifat resultan impulsif politik negatif untuk kepentingan ekonomi, hukum dan sosial yang riskan bisa menimbulkan polarisasi, intrik, dan konflik itu seringkali dilakukan pembiaran.
Keluaran sifat dan sikap kenegarawanan itu memberi solusi transparatif yang adil dan berkeadilan. Sehingga, bisa mendorong terbentuknya semangat dan nilai concentia untuk mewujudkan konsensus dan komitmen persatuan dan kesatuan.
Artinya, tanpa keadilan jangan bermimpi untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan itu: the nation state building.
Maka, pilihan kepada Anies Rasyid Baswedan, untuk menjadi Presiden adalah sebagai pilihan tepat, sebagai suatu keniscayaan dan kepercayaan, dari dignity demokratisasi yang new realy mewujudkan kembali kekuasaan tertinggi kepada kedaulatan rakyat.
Ketimbang, bacalon Presiden yang masih itu-itu saja yang semuanya dari eks partai anggota oligarki tadi, seperti: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto, Puan Maharani, Erick Tohir, dsb yang sudah jelas, “useless”, dikarenakan out of the box dari demokratisas, mereka bagian yang menjadi gerombolan yang hanya mementingkan kepentingan oligarki tersebut.
Apalagi, Anies Baswedan, adalah seorang intelektualisme oratoris, bilamana Soekarno sangat meledak-ledak, kecakapan pemaparan narasi Anies lebih santun, lembut dan bersahaja. Narasinya berwawasan akademis keilmuan dengan kemampuan berkomunikasi bahasa Inggris yang mumpuni akan menjadi bagian penting untuk menempatkan dirinya dalam ajang komunikator pergaulan dalam percaturan ekonomi dan politik global dan mondial.