Anies Dijegal, Rakyat Berontak
Langkah politik Surya Paloh layak diacungi dua jempol. Keputusan politisi kawakan ini memajukan deklarasi Anies Baswedan satu bulan lebih awal ketimbang jadwal sebelumnya sungguh tepat momentum.
Tepat, karena Nasdem mendapat nilai plus di mata rakyat sebagai deklarator pertama. Tepat, karena deklarasi ini kembali membangun rasa percaya diri para pendukung Anies yang gulana menunggu kepastian. Dan tepat, karena langkah politik ini membungkam agenda busuk penjegalan Anies.
Isu penjegalan Anies bukan wacana kaleng-kaleng. Kabar dia akan ditersangkakan dan dipenjara telah lama menjadi bisik-bisik politik, dan meledak ke publik usai mantan Presiden Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan kekhawatirannya.
SBY khawatir Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 bakal diatur hanya untuk diikuti oleh dua pasang Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres-Cawapres) dari mereka saja. Pasca pernyataan SBY, beredar video Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Andi Arief yang kita semua tahu isinya luar biasa menyeramkan. Sayang, Andi melarang videonya dikutip.
Di lain saat, Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman mengaku mendengar informasi sejumlah pihak yang menjegal Anies maju sebagai calon presiden dalam Pilpres 2024. Benny menyebut sosok ini genderuwo, lantaran tidak terlihat.
Tidak sedikit yang menuding, tiga pernyataan politisi ini sebatas gimick atau trik politik. Namun, pernyataan ketiganya mendapat penguatan dari investigasi Koran Tempo berjudul “Manuver Firli Menjegal Anies.”
Kriminalisasi Anies
Setidaknya ada empat poin dalam laporan Tempo yang mengarah pada dugaan kriminalisasi terhadap Anies Baswedan.
Pertama, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mendesak Satuan Tugas (Satgas) Penyelidik agar manaikkan kasus Formula E dari penyelidikan menjadi penyidikan dan meningkatkan status Anies. Satgas menolak karena tidak cukup bukti. Namun, mereka terus didesak.
Kedua, Firli Bahuri akan lobi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar BPK bersedia mengeluarkan hasil audit yang menyatakan terdapat kerugian negara dalam penyelenggaraan Formula E.
Ketiga, Firli dan Karyoto meminta tim penyelidik untuk mencari pakar hukum pidana yang bersedia menjelaskan kasus Formula E sebagai pelanggaran pidana. Permintaan ini muncul setelah sejumlah pakar hukum pidana yang dimintai keterangan menyatakan kasus Formula E hanya pelanggaran administrasi.