Anies Rasyid Baswedan itu ‘Enforcement Law of Supremacy’
Maka, Anies sebagai personal yang memiliki kekuatan dukungan politik yang luar biasa itu menjadi korban kekejian rezim koplak dan bopak, adalah sebagai suatu ketakpantasan, ketakpatutan dan ketakadaban dari para elit politik itu jelas-jelas telah memperagakan tindak kejahatan konstitusi dan demokrasi kepada hanya seorang personal Anies Rasyid Baswedan.
Sehingga, boleh diapresiasi Anies kelak sebagai satu-satunya Gubernur di Indonesia yang merepresentasikan bahwa masih ada personal dan atau institusi politik tersisa berperan fungsional sebagai oposisional lebih jauh, dalam dan luas menyentuh konteks mutual and beneficial enforcement law of supremacy.
Itu disimbolisasi sebagai bentuk suatu hororable and fearness penguatan dan kekuatan pengamanan, penjagaan dan perlawanan yang telah dibaca dan disadari oleh rakyat di seluruh negeri ini— tidak di DKJ saja—terhadap adanya upaya para elit kotor dan jahat itu melakukan penyimpangan, penyelewengan dan pengacak-acakan konstitusi dan demokrasi itu.
Pertanyaaannya sekarang kenapa hanya kepada seorang personal Anies sampai diperlakukan tindakan serepresivitas sedemikian? Ada kepentingan apa di balik layar adanya betapa tekanan hegemoni dan kooptasi yang sebegitu besar itu?
Diduga tak usah jauh-jauh sebagai prereferensi adanya kejahatan politik itu, adalah salah satunya yang paling inherent dan dekat dengan Jakarta itu sendiri, terkait telah diterbitkannya UU perihal Kawasan Aglomerasi meliputi Jabodetabekjur yang nanti dalam implementasiya akan di bawah kewenangan Dewan Kawasan Aglomerasi bakal langsung diketuai oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Mengulang sejarah tindakan Anies sesaat mengawali jabatan Gubernurnya di 2017, adalah dengan tegas begitu beraninya Anies menghentikan proyek reklamasi di pantai utara Jakarta dan Pulau Seribu yang merupakan perluasan pengembangan proyek PIK I.
Yang disinyalir dilakukan oleh mediator Ahok, PDIP beserta kroni-kroninya saat itu kepada korporasi pengembang oligarki PT. Agung Sedayu dan Podomoro Group dimiliki Aguan membeli pantai reklamasi tersebut seharga diduga sebesar 40 T. Sebagian dipergunakan kemudian untuk Jokowi membiayai konstetasi pencalonan Presiden 2014, membohongi sendiri janjinya akan menuntaskan jabatan gubernur itu lima tahun penuh.
Kali ini setelah mengiringi satu dekade Jokowi jabatan Presiden pertambahan perambahan dari reklamasi pantai itu sudah memasuki tahapan PIK II —adanya kecenderungan proyek ini sebagai kota super-duper modern megapolitan baru seperti “negara dalam negara”—ternyata perluasan pengembangannya sendiri akan jauh melebihi luas Jakarta (77 ribu hektar), bahkan negara Singapura (99 ribu hektar). Sedangkan, PIK II hingga menjangkau kawasan Teluk Naga di utara Tangerang membentang seluas 150 ribu hektar lebih.
Dan Anies jika jadi jabatan Gubernur nanti tentu tidak akan mudah hanya mengikuti ketentuan bersifat birokrasi dan administrasi saja sesuai perintah otorisasi Dewan Kawasan Aglomerasi saja.
Jika dalam implementasi teknis pengembangan dan perluasan itu terjadi adanya kecenderungan upaya penindasan dan intimidasi dengan melakukan upaya penggusuran paksa rumah dan tanah rakyat, bahkan penyingkiran dan pengusiran, sudah pasti itu akan sangat ditentang secara keras oleh Anies.
Terlebih, menjadi sangat ironis, ujug-ujug kawasan PIK II sedemikian pula dengan kawasan BSD justru malah diberi oleh Pemerintah rekomendasi status berkategori sebagai Proyek Strategis Nasional.
Sudah pasti dengan memegang rekomendasi PSN korporasi pengembang oligarki ini akan mendapatkan privilis-privilis baru yang bakal dikawal dan dilindungi pula oleh Pemerintah.