Antara Avtur dan Harga Tiket Pesawat
Tingginya harga Avtur sebagai bagian dari bahan bakar minyak sebagai hasil pengelolaan sumber daya alam berupa barang tambang dan energi, akan mendongkrak tingginya harga-harga yang lain. Ini adalah sebuah keniscayaan.
Karenanya merupakan solusi yang tidak tepat dalam menghadapi tingginya harga Avtur sebagai bahan bakar pesawat terbang, dengan menggandeng pihak swasta dalam melakukan pengadaan Avtur sebagai pesaing PT Pertamina. Inilah blunder ekonomi Kapitalistik-Liberalistik. Solusi yang ditempuh menghasilkan masalah baru.
Islam adalah Solusi
Sungguh duduk perkara tingginya harga Avtur bukanlah terletak dari ada atau tidak adanya persaingan dalam pengadaan Avtur. Atau bukan terletak dari monopoli harga yang disinyalir dilakukan oleh PT Pertamina. Bukan itu.
Tingginya harga Avtur disebabkan diberlakukannya aturan Kapitalistik Liberalistik dalam pengelolaan Avtur sebagai bagian dari hasil pengelolaan sumber daya alam berupa barang tambang dan energi.
Sehingga paradigma pengelolaan sumber daya alam apapun bentuknya dalam sistem kapitalistik liberalistik hanya berdasarkan hitungan untung rugi perusahaan pengelola.
Padahal sejatinya adalah sebuah kesalahan besar dan sebuah keharaman, mengambil hak pengelolaan yang bukan haknya.
Sungguh, Islam telah menetapkan jika sumber daya alam berupa barang tambang dan energi adalah milik seluruh warga masyarakat. Baik muslim maupun non muslim. Bukan milik individu. Bukan milik negara.
Posisi negara adalah sebagai pengelola sumber daya alam berupa barang tambang dan energi. Dimana hasil pengelolaannya diserahkan kembali pada yang punya atau pemilik hak yaitu warga masyarakat. Bisa dalam bentuk subsidi kebutuhan pokok warga masyarakat, atau juga bisa dalam bentuk pembangunan fasilitas-fasilitas yang menunjang terpenuhinya kebutuhan pokok warga masyarakat, berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Negara sebagai pengelola sumber daya alam milik warga masyarakat diharamkan untuk menyimpan keuntungan dari hasil pengelolaannya. Apalagi sampai menghilangkan hak dan kewajiban pengurus urusan masyarakat. Ataupun sampai mendzolimi warga masyarakat, dengan membiarkan masyarakat mengeluh atas tingginya harga kebutuhan hidup atau hilangnya kenyamanan dan keamanan yang dirasakan warga masyarakat.