Apakah Suara Wanita Termasuk Aurat?
Selama ini memang ada pendapat yang mengatakan bila yang boleh didengar adalah nyanyian dari lelaki, sedangkan nyanyian wanita haram untuk didengar. Alasannya, suara wanita itu aurat (hal yang tidak boleh ditampilkan).
Namun demikian, Abdurrahman Al-Baghdadi dalam bukunya, “Seni dalam Pandangan Islam” menyebutkan, nyanyian yang memalukan itu memang haram dikerjakan bila disertai dengan perbuatan haram atau mungkar. Tetapi mendengerkannya secara tidak langsung tidaklah haram.
Menurut Al-Baghdadi, keharamannya itu terbatas pada mendengarkannya secara langsung dari penyanyinya di tempat maksiat, bukan karena suara penyanyi wanita itu aurat. Keharaman itu terletak pada sikap berdiam diri terhadap nyanyian yang berisi kata-kata mungkar dan si penyanyi wanita menampilkan kecantikannya dengan membuka auratnya, misalnya rambut, leher, dada, betis, paha, dan bagian aurat lainnya. Inilah yang diharamkan oleh syara’, bukan karena masalah mendengarkan nyanyian wanita itu.
Baca juga: Aurat Wanita Itu Seluruh Tubuh, Kecuali……
Nah, sejatinya suara wanita itu bukanlah aurat. Sebab jika disebut aurat, mengapa Rasulullah Saw mengizinkan dua wanita budak bernyanyi dirumahnya? Selain itu, beliau tidak keberatan berbicara dengan kaum wanita, sebagaimana yang terjadi ketika menerima baiat dari kaum ibu sebelum dan sesudah hijrah. Bahkan beliau pernah mendengar nyanyian wanita yang bernazar untuk memukul rebana dan bernyanyi di hadapan Rasulullah Saw. Semua keterangan tersebut dan keterangan serupa lainnya menunjukan bahwa suara wanita bukan aurat.
Selain itu, syara’ telah memberikan hak dan wewenang kepada kaum wanita untuk melakukan aktifitas jual-beli, berdagang, menyampaikan ceramah atau mengajar, mengaji Al-Qur’an dirumah sendiri, membaca kasidah atau syair, dan sebagainya. Jika suara mereka dianggap aurat atau haram maka tentu syara’ akan mencegah mereka melakukan semua aktifitas tersebut. Inilah hujjah yang kuat.
Hanya memang, syara’ telah melarang wanita menampilkan perhiasannya di hadapan kaum laki-laki yang bukan muhrimnya, melenggak-lenggok, atau manja dalam berbicara, sebagaimana firman Allah SWT:
“. . . dan janganlah menampakan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara lelaki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengewrti tentang aurat wanita . . .” (QS. An-Nuur: 31)
Syara’ tidak melarang wanita berbicara dengan pria dengan syarat ia tidak menampilkan kecantikan atau perhiasannya kepada masyarakat luas.
Oleh karena itu, mendengar suara wanita tidaklah haram sebab bukan aurat. Tidak ada larangan wanita berbicara dengan kaum lelaki kecuali dengan suara manja, merayu, atau keluhan yang dapat menimbulkan keinginan kaum lelaki untuk berbuat jahat, serong, dan perbuatan dosa besar lainnya terhadap wanita tersebut. Hal ini telah ditegaskan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:
“…maka, janganlah kamu tunduk ketika berbicara (dengan maja, merayu, dan sebagainya). (Sebab), nanti akan timbul keinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya (keinginan nafsu birahinya). Dan ucapkanlah perkataan yang baik (sopan santun).” (QS. Al-Ahzab 32)
Apabila wanita telah melanggar perintah tersebut maka tidak hanya dirinya yang terlibat dalam perbuatan dosa atau haram, tapi juga setiap orang yang menbiarkan hal tersebut karena mereka tidak menyeru kepada ma’ruf (wajib, sunnah) terhadap wanita itu, dan tidak pula mencegahnya melakukan yang mungkar (haram).
Rasulullah Saw bersabda mengenai hal ini: “Siapa saja yang melihat di antara kalian adanya kemungkaran maka hendaknya ia ubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu melakukannya, maka hendak dengan lisannya. Kalau inipun tidak mampu dilakukannya, maka hendaklah menolaknya di dalam hatinya. Tetapi itulah iman yang selemah-lemahnya.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah). Wallahu A’lam.