Aparat Represif, Kebebasan Berpendapat Makin Mundur
Jakarta (SI Online) – Kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia sepanjang tahun 2020 mengalami kemunduran karena tindakan represif aparat kepolisian.
Berdasarkan Catatan Hari HAM Internasional yang dikeluarkan LSM KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), kemunduran itu, terlihat dari penangkapan ribuan orang dan kekerasan terhadap ratusan orang dalam aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law di berbagai daerah.
Kontras juga menyebut kekerasan oleh aparat polisi berkolerasi dengan penempatan 32 petinggi Polri menjadi pejabat negara. Meskipun Pemerintah menampik tudingan itu dan mengklaim Presiden Joko Widodo tetap berkomitmen menjamin perlindungan hak asasi manusia.
Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, memproyeksi perlindungan Hak Asasi Manusia dalam hal kebebasan berekspresi dan berpendapat tahun depan akan semakin jauh dari harapan.
Fatia mengatakan tidak ada upaya dari pemerintah untuk mengevaluasi tindakan represi aparat polisi dalam peristiwa unjuk rasa penolakan Omnibus Law.
Staf Riset dan Dokumentasi Kontras, Danu Pratama, mencatat ada 4.555 orang ditangkap secara sewenang-wenang dan 232 orang mengalami luka-luka dalam 87 aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja di berbagai daerah.
Namun Polri tidak pernah menindak anggotanya yang terbukti melakukan kekerasan. Pun, Presiden Jokowi tidak berupaya untuk mengevaluasi institusi kepolisian. Padahal jika dibiarkan, kekerasan oleh aparat akan berulang tahun depan, kata Danu.
“Ketika tidak ada yang diproses secara hukum, dapat dipastikan kekerasan yang terjadi di tahun 2020 akan berulang tahun depan dengan isu yang lain,” ujar Staf Riset dan Dokumentasi Kontras, Danu Pratama, dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Kamis (10/12/2020).
Fatia juga mengatakan masifnya tindakan represi aparat kepolisian terhadap masyarakat sipil yang mengritik kebijakan pemerintah yang kontroversial tak lepas dari penempatan 32 petinggi Polri di pemerintahan.
Pengamatannya, penempatan itu secara langsung atau tidak memengaruhi kebijakan internal Polri.
“Kalau kami sebutnya mungkin dwifungsi ABRI sudah tidak ada tapi sekarang muncul multifungsi Polri karena bergerak di berbagai lini,” imbuh Fatia.
Karena itu, ia mendesak Kompolnas segera mengevaluasi institusi kepolisian.
sumber: BBC News Indonesia