AS Soroti Kewajiban Sertifikasi Halal di Indonesia, Ketua MUI: Bentuk Perlindungan Negara dan HAM

Jakarta (SI Online) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi sikap Amerika Serikat yang keberatan dengan kewajiban (mandatory) sertifikasi untuk produk-produk yang beredar di Indonesia.
Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh menegaskan, kewajiban sertifikasi halal untuk produk yang beredar di Indonesia tidak dapat dinegosiasikan, meskipun Amerika Serikat menyoroti.
“Undang-Undang kita mengatur tentang jaminan produk halal. Salah satunya disebutkan setiap produk yang masuk, yang beredar, dan atau yang diperjualbelikan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal,” ujar Asrorun Niam Sholeh di Jakarta, Selasa (06/05/2025).
Niam mengatakan, aturan jaminan produk halal merupakan implementasi dari perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak beragama, yang dijamin secara konstitusional.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah itu menyatakan, prinsip dalam fiqih muamalah bukan terletak pada siapa mitra dagangnya, melainkan pada aturan mainnya.
Indonesia, kata dia, tidak melarang perdagangan dengan negara manapun, termasuk AS maupun negara lainnya, selama dilakukan dengan cara saling menghormati, saling menguntungkan, dan tidak ada tekanan politik.
“Nah dalam konteks halal mayoritas masyarakat di Indonesia adalah Muslim dan setiap Muslim terikat oleh kehalalan produk,” kata dia.
Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang menyebutkan bahwa semua produk yang masuk dan beredar di Indonesia wajib memiliki sertifikasi halal.
Aturan ini, kata Niam, adalah bentuk perlindungan negara terhadap konsumsi masyarakat dan dijamin dalam kerangka hak asasi manusia.
Ia menyatakan protes AS terhadap kewajiban ini seharusnya tidak menjadi isu besar, karena sistem jaminan halal juga telah diakui di Negeri Paman Sam tersebut.
Niam bahkan mengaku pernah melakukan kunjungan ke berbagai negara bagian di AS untuk memastikan bahwa produk yang diimpor ke Indonesia memenuhi standar kehalalan.
“Kalau Amerika berbincang soal hak asasi manusia, maka soal sertifikasi halal bagian dari implementasi penghormatan dan penghargaan terhadap hak asasi yang paling mendasar yaitu hak beragama,” kata dia.
Meski demikian Niam mengusulkan ruang kompromi dalam aspek teknis, seperti penyederhanaan administrasi, transparansi pelaporan, efisiensi biaya, dan waktu pengurusan. Namun ia menekankan substansi kehalalan tidak boleh dikompromikan.
“Jangan hanya karena ingin memperoleh insentif pajak dari proses resiprokasi ini, mengorbankan hal yang bersifat fundamental sehingga hak dasar masyarakat Indonesia tercabut,” kata dia.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump memprotes kebijakan sertifikasi halal yang diberlakukan di Indonesia. Dalam laporan tahunan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) itu pemerintah AS menyebut kebijakan sertifikasi halal menghambat perdagangan negaranya ke Indonesia.
Hambatan-hambatan perdagangan itu tertuang dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang rilis pada 31 Maret 2025. Berdasarkan NTE 2025 itu AS keberatan dengan kebijakan sertifikasi halal yang membuat barang impor dari AS harus lebih dulu melalui uji kehalalan.[]