Awas! Dilarang Keras Menghina Presiden Jokowi!
Tanpa adanya pasal penghinaan itu saja, selama ini banyak wartawan yang menjadi korban kriminalisasi.
Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dalam lima tahun terakhir, setidaknya ada 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis.
Umumnya jurnalis ini dituduh menyebar fitnah dan pencemaran nama baik, menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kebebasan pers di Indonesia, berdasar catatan Reporters Without Borders for Freedom of Information (RSF) sangat buruk. Selama tiga tahun berturut-turut menempati peringkat 124 dari 180 negara.
Kalau benar DPR tetap memaksakan untuk mengesahkan RUKUHP, maka demokrasi Indonesia memasuki masa-masa kegelapan.
Sebagai sebuah negara demokrasi, kritik terhadap pemerintah adalah hal yang lumrah. Malah harus dilakukan. Sebagai bagian dari proses kontrol.
Obat pahit yang menyehatkan. Membuat demokrasi tumbuh subur dan kuat.
Fungsi media sebagai pilar keempat, adalah anjing penjaga (watchdog) demokrasi. Sementara bagi warga negara, kebebasan berpendapat, termasuk kritik kepada pemerintah dan presiden, dijamin oleh konstitusi.
Pak Jokowi tampaknya perlu belajar lebih rileks mengahadapi kritik kepada para pendahulunya. Presiden BJ Habibie, Megawati, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada masa Presiden SBY, ada demonstran yang membawa kerbau dan ditulisi nama Sibuya. Plesetan dari singkatan nama SBY.
SBY paling banter cuma uring-uringan. Curhat ke media. Tidak sampai menggunakan aparat kepolisian untuk menjerat mereka dengan pasal-pasal pidana penghinaan.
Ketika kasusnya sudah menjurus ke fitnah secara pribadi, SBY menempuh jalur hukum. Dia mengadukan kasusnya ke polisi.
Datang sendiri ke kantor polisi. Tidak menyuruh pengacaranya. Apalagi pendukungnya.
Pada kasus penghinaan yang dilakukan oleh politisi Zainal Ma’arif dan pengacara Eggy Sudjana, SBY sebagai pribadi melapor ke polisi.