NASIONAL

Azan Magrib Minta Ditiadakan Saat Misa, Wakil Wantim MUI: Toleransi Kebablasan

Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhyiddin Junaidi menyayangkan adanya surat permohonan yang berkop Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) perihal peniadaan adzan Magrib di televisi dan diberlakukan secara running text.

Hal tersebut dikarenakan bersamaan dengan misa yang dipimpin Paus Fransiskus di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta, pada Kamis, 5 September 2024

Menurut Kiai Muhyiddin, surat edaran tersebut bagian dari penerapan toleransi yang kebablasan dan sekaligus bertentangan dengan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 tentang keharaman Sepilis (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme).

“Seharusnya jam penyiaran pidato Paus bisa digeser sehingga tak mengorbankan waktu siaran kumandang Azan magrib,” kata Kiai Muhyiddin dalam keterangan tertulisnya, Rabu (04/9/2024).

Ia menilai, upaya peniadaan Azan Magrib merupakan pemaksaan kehendak di negeri mayoritas Muslim ini.

“Umat katolik yang masih minoritas saja sudah berani memaksakan kehendak mereka kepada kelompok mayoritas negeri ini, apalagi jika menjadi mayoritas,” ujar Kiai Muhyiddin.

Bukan tanpa alasan, ia menyatakan tersebut berdasarkan sejarah dimana ketika Kristen melakukan pendudukan di Andalusia, umat Islam yang sebelumnya berkuasa selama delapan abad harus menerima kezaliman akibat kekuasaanya diambil paksa.

“Belajar dari sejarah kejatuhan umat Islam di Spanyol dimana hanya ada dua pilihan bagi kaum Muslim yaitu tetap tinggal di wilayah Spanyol tapi harus murtad atau keluar dari Spanyol jika masih tetap istiqamah dengan Islam. Semua masjid, sekolah Islam, dan pusat kajian keislaman serta Islamic heritage dikonversi menjadi lembaga nasional tanpa makna,” ungkap Kiai Muhyiddin.

Sementara itu, saat ini, umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia sudah terkenal dengan sikap toleransi beragama. Banyak negara yang belajar dari pengalaman Indonesia. Bahkan bukan sekadar teori saja tapi dibuktikan dalam perbuatan dan perilaku nyata.

Bahkan ada juga toleransi yang dipaksakan seperti yang terjadi dalam pembangunan terowongan antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral.

“Sejak beberapa tahun lalu, Masjid istiqlal sudah membangun terowongan toleransi yang menggabungkan dengan Gereja Katedral Pusat. MUI sejak awal menolak rencana tersebut, tapi rezim tetap dengan kebijakannya,” ujarnya.

“Jika merujuk kepada site plan dan sistem yang berlaku di kesultanan Islam, adalah menyatukan antara pasar, alun-alun dan masjid. Artinya pembangun terowongan idealnya dibangun dari Monas ke Istiqlal kemudian ke Pasar baru. Secara psikologi tiga tempat melting pot itu harus dikuasai umat Islam,” tambah Kiai Muhyiddin.

Kembali soal azan, saat ini di negara yang mayoritas non-Muslim sudah mulai terbuka dengan membiarkan lantunan azan dikumandangkan.

Seperti yang terjadi di Inggris, untuk pertama kali dalam sejarah Kerajaan Inggris, beberapa waktu lalu alunan azan salat berkumandang di markas klub sepakbola Liverpool sebelum pertandingan dimulai.

Ketua Pembina Jaringan Alumni Timur Tengah (JATTI) itu mengatakan, klub sepak bola Liverpool saja memperbolehkan kumandang azan di stadion mewahnya sebelum pertandingan. Lalu kenapa di negeri mayoritas Muslim, azan mau ditiadakan.

“Memang penguasa rezim Ini sudah kehilangan akal sehat dengan menabrak semua aturan demi kepentingan mereka,” tukas Kiai Muhyiddin.

red: adhila

Artikel Terkait

Back to top button