SUARA PEMBACA

Azan tanpa Suara

Kembali azan berkumandang tanpa suara. Ia hanya tampak dalam tampilan running text saja. Kali ini karena bersamaan dengan siaran langsung misa umat nasrani. Sebelumnya karena berbarengan dengan siaran langsung pertandingan sepak bola dunia.

Miris memang, tetapi faktanya demikian. Seperti biasa, netizen ada yang pro dan kontra. Mereka mewakili masyarakat umum yang hidup dalam atmosfer sekularisme, bebas mengutarakan pendapat, tak peduli benar atau salah. Apalagi instruksi pengadaan running text tersebut, datangnya justru dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabene mewakili umat Islam. Sungguh ketetapan yang gegabah. Hingga akhirnya masyarakat muslim harus memutuskan sendiri, untuk mematikan televisi sejak jam 16.00 hingga jam 20.00 wib di tanggal 5 September 2024.

Bukan kali ini saja keberadaan azan dikesampingkan. Sebelumnya pernah terjadi kasus serupa ketika seorang politikus putri Presiden pertama RI, membuat pernyataan kontroversial. Dalam puisinya ia menyatakan, bahwa suara kidung ibu Indonesia sangatlah elok, lebih merdu dari alunan azan. (Cnnindonesia, 18-11-2019). Kasus ini sempat ramai kala itu, berujung dengan permintaan maaf tokoh tadi, kepada kaum muslim.

Namun tak lama setelahnya, azan kembali naik daun. Media internasional, Agence France-Presse (AFP), sebuah agensi berita internasional yang berpusat di Paris, Prancis menyoroti azan di Jakarta. Dituliskan bahwa seorang warga yang menderita gangguan kecemasan terlalu takut untuk komplain.

“Ketakwaan atau gangguan kebisingan? Indonesia mengatasi reaksi volume azan,” demikian judul AFP, diunggah Kamis (14-10-2021). (Detiknews.com, 14-10-2021)

Azan di Tengah Sekularisme

Eksistensi azan selamanya akan terus digugat di sepanjang penerapan sekularisme, sebab azan adalah simbol Islam yang sangat dekat dengan kehidupan umat. Dengan landasan pemisahan agama dari kehidupan, manusia bebas beraktivitas dan mengemukakan pendapat, tanpa panduan Ilahi. Itulah sekularisme. Allah hanya boleh mengatur di ranah ibadah saja, bukan di kehidupan sehari-hari. Maka bisa kita saksikan saat ini, muncul pendapat-pendapat yang mengkritisi azan. Ditambah ide moderasi beragama dan ajakan toleransi, ajaran Islam ditarik ulur sekehendak hati.

Hal yang sama pun pernah terjadi jelang keruntuhan Khilafah Utsmaniyah. Saat itu kepemimpinan Islam melemah, negara tak mampu menghadapi sekularisme yang merajai negeri. Mustafa Kemal melakukan banyak perubahan besar-besaran, melalui nasionalisasi agama. Ia menghapus jejak keislaman di semua aspek. Hingga ketika kepemimpinan Islam berakhir, payung Islam terlipat, kehidupan masyarakat berangsur-angsur ia giring ke arah sekularisme. Hingga kini di pusat pemerintahan Utsmani sendiri, kaum muslim justru tampak semakin liberal.

Kemal At-Taturk melarang azan berbahasa Arab, dan mengganti huruf hijaiyah dengan alfabet Latin. Lafaz takbir ‘Allahu akbar’ juga diganti dengan ‘Allah büyüktür’ atau ‘Tanri uludur’. Sebagian masyarakat muslim menolak ketetapannya, namun tak berdaya di bawah kekuasaan represif ala Kemal. Menurut surat kabar Milliyet, hampir setengah dari 1200 muadzin Istanbul menyelesaikan kursus azan Turkiye. Bagi yang menolak akan dikenakan sanksi berupa tiga bulan penjara atau denda 10 lira hingga 200 lira.

Saat sekularisme diemban dan kepemimpinan Islam hilang, kaum muslim pun semakin jauh dari keislamannya. Tanpa penerapan Islam kaffah, musnah pula pemikiran Islam (fikrul Islam) dan perasaan Islam (syu’ur Islam) di tengah umat. Maka wajar jika kini ditemui komentar sinis netizen yang menganggap biasa, ketika azan tak perlu diperdengarkan di layar kaca demi menghormati tamu Kristiani.

Menggantikan azan di televisi dengan running text, dianggap sebagai bentuk toleransi, menjadi sebuah keniscayaan dalam kehidupan sekularisme. Bahkan simbol-simbol Islam dilucuti satu demi satu, dari waktu-waktu. Berbagai upaya digencarkan, untuk menjauhkan umat dari jati dirinya yang sebenarnya sebagai khairu ummah.

Azan di Tengah Umat

Sejatinya azan memiliki kedudukan yang mulia di tengah umat. Azan bukan sekadar seruan, melainkan sebagai syiar Islam. Maka keberadaannya sangat penting sebagaimana halnya salat Idufitri dan Iduladha, puasa, haji, salat Jumat dan sebagainya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Hajj: 32,

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

ذٰلِكَ وَمَنْ يُّعَظِّمْ شَعَآئِرَ اللّٰهِ فَاِ نَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوْبِ

“Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.”

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button