Azan tanpa Suara
Beratus tahun yang silam, azan mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Saat itu, Rasulullah Saw mengumpulkan para sahabat untuk mendiskusikan tentang cara memberi tahu kaum muslim bahwa waktu salat telah tiba. Berbagai usulan disampaikan, ada yang menggunakan kibaran bendera, membunyikan lonceng, atau menyalakan api di bukit. Akan tetapi Rasulullah saw. menolak semua usulan tersebut dan menggantinya dengan seruan ‘ash-shalâtu jâmi’ah’ (Mari shalat berjamaah).
Islam juga mengajarkan adab ketika mendengar azan yaitu menghentikan aktivitas jika memungkinkan, kemudian menjawab dan mengulang-ulang kata yang diucapkan muadzin, serta membaca doa dan salat sunnah. Sangat banyak keutamaan yang terdapat pada azan, ia dapat membuat hati menjadi tentram, jiwa menjadi tenang, menghalau setan, serta limpahan pahala, pengampunan dosa dan janji dimasukkan ke surga. Karenanya secara alami, azan senantiasa berdetak dalam denyut nadi kehidupan masyarakat Islam.
Sebagaimana masyarakat rindu suara azan Bilal. Maka ketika Bilal kembali mengumandangkan azan, suaranya yang istimewa dikenali penduduk muslim Syam. Bilal menangis tersedu-sedu, tak mampu menyelesaikan azannya. Khalifah Umar bin Khaththab pun menitikkan air mata seperti halnya seluruh kaum muslim yang ada di sana, rindu terhadap sosok Rasulullah saw. Azan Bilal lekat dengan kehidupan di masa Rasulullah Saw ada.[]
Lulu Nugroho, Muslimah Revowriter Bandung.