Bahasa Arab Dituding Ciri Teroris, HNW: Tampak Islamofobianya
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengritisi dan mengoreksi pengaitan bahasa Arab sebagai cara penyebaran radikalisme sebagaimana pernah dinyatakan oleh mantan Menteri Agama, Fahrurazi, atau memperbanyak bahasa Arab sebagai sarana penyebaran terorisme sebagaimana dinukil dari pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati.
HNW mengingatkan justru ungkapan serapan yang berasal dari bahasa Arab malah banyak disebut dalam Pancasila, yang membuktikan bahwa Bahasa Arab (kemahiran maupun memperbanyak penyebutannya) tidak terkait dengan radikalisme maupun terorisme.
Terkait ucapan Susaningtyas, kata HNW memang sudah ada klarifikasi, tetapi tidak memadai karena stigma dan tuduhan atau salah amatan itu tidak dikoreksi atau dicabut, padahal kesalahan penilaiaannya teramat nyata.
HNW mengatakan, seandainya benar amatan itu, maka apa mungkin Indonesia yang memerangi terorisme dan radikalisme akan tetap meminta/mengajari anak-anak sekolah dan warga umumnya untuk menghafalkan dan mengamalkan Pancasila?
“Bukankah dalam Pancasila terdapat banyak kosakata dalam Bahasa Arab yang diserap ke dalam Pancasila yang tetap menjadi dasar dan ideologi negara Republik Indonesia,” kata HNW melalui pernyataan tertulisnya kepada Suara Islam Online, Jumat (10/9/2021).
“Bukankah dalam Pancasila tetap ada kata “adil” dalam sila kedua dan kelima, “rakyat” pada sila keempat dan kelima, adab pada sila kedua, serta hikmat, musyawarah, dan wakil pada sila keempat, dan itu semua serapan dari bahasa Arab?!” lanjutnya.
Menurutnya, terorisme dan radikalisme juga pasti bertentangan dengan demokrasi yang simbolnya ada di Parlemen. Sementara parlemen di Indonesia yaitu MPR, DPR dan DPD, masih tetap saja mempergunakan istilah dasar yang bahkan kesemuanya serapan dari bahasa Arab: majelis, musyawarah, dewan, wakil, rakyat, daerah. “Bukankah itu semua berasal dari bahasa Arab?!,” tanya HNW.
Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa tuduhan dan framing tendensius tersebut patut ditolak dan dikritisi, selain karena tidak sesuai dengan fakta, tetapi juga karena framing negatif itu men-downgrade nilai-nilai dalam Pancasila dan kehidupan berdemokrasi dengan simbol parlemennya.
“Jadi, apabila ada pernyataan memperbanyak bahasa Arab disebut sebagai salah satu ciri penyebaran terorisme, disadari atau tidak itu bisa jadi bentuk “teror” terhadap Pancasila dan Parlemen Indonesia yang banyak ungkapannya diserap dari bahasa Arab,” ujarnya.
HNW juga menegaskan bahwa kita semua menolak radikalisme dan terorisme, tetapi hendaknya dilakukan dengan berbasiskan kebenaran, bukan framing apalagi Islamofobia. Perlu rasional dan kritis juga, apabila penyebaran terorisme dikaitkan dengan penyebaran bahasa Arab, lalu bagaimana dengan fakta penyebaran tindakan terorisme di Indonesia dan di dunia yang tidak terkait bahasa Arab.