Bahasa Arab: Kunci Kebangkitan yang Mulai Dilupakan

Banyak orang hari ini meremehkan pentingnya bahasa Arab. “Untuk apa belajar bahasa Arab? Di Timur Tengah saja banyak yang bisa bahasa Indonesia,” begitu alasan sebagian orang. Ada pula yang menganggap, “Bahasa Arab tidak menjamin pekerjaan.”
Pandangan seperti itu sekilas terdengar praktis, tetapi sesungguhnya lahir dari pemahaman yang keliru. Bahasa Arab sering dipandang hanya sebagai alat komunikasi biasa, padahal hakikatnya jauh lebih dari itu.
Bahasa Arab adalah bahasa wahyu, bahasa ibadah, dan bahasa doa. Tidak ada satu ibadah pokok dalam Islam yang dilepaskan dari bahasa Arab: mulai dari shalat, zikir, doa, hingga membaca Al-Qur’an. Umar bin Khattab ra bahkan menegur seorang laki-laki yang bertawaf dengan bahasa Persia. Umar berkata, “Tempuhlah jalan ini dengan bahasa Arab” (lihat al-Bayan wa at-Tabyin karya al-Jahiz, cet. Dar al-Fikr, Beirut, jilid I, hlm. 58). Teguran ini menunjukkan bahwa menjaga bahasa Arab adalah bagian dari menjaga kemurnian agama.
Imam Syafi’i rahimahullah menegaskan bahwa kemunduran umat justru berawal dari diabaikannya bahasa Arab. Dalam Siyar A‘lam an-Nubala’ karya Imam adz-Dzahabi (cet. Mu’assasah ar-Risalah, jilid X, hlm. 75), dinukil perkataan beliau: “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan berselisih kecuali karena meninggalkan bahasa Arab dan condong kepada bahasa Aristoteles.” Pernyataan ini sangat jelas: meninggalkan bahasa Arab berarti membuka pintu kelemahan dan perpecahan.
Sejarah pun membuktikan. Penjajah tahu betul kekuatan bahasa Arab. Prancis ketika menjajah Aljazair selama lebih dari satu abad, berusaha mengganti bahasa Arab dengan bahasa Prancis. Ulama besar Aljazair, Abdul Hamid bin Badis, menulis bahwa penjajah hanya membiarkan Al-Qur’an dibaca, tetapi melarang umat Islam mempelajari tafsir atau ilmu-ilmu lain yang bersumber dari bahasa Arab (al-‘Aqidah wa Atsaruha fi Nafs al-Insan, cet. Dar al-Ma‘rifah, hlm. 41). Dengan kata lain, menjauhkan umat dari bahasa Arab sama artinya menjauhkan mereka dari sumber agama.
Di Nusantara, bahasa Arab pernah menempati posisi mulia. Para ulama menulis kitab dalam aksara Jawi, namun tetap menggunakan bahasa Arab sebagai pijakan. Pendidikan tradisional di surau dan pesantren lama pun menjadikan bahasa Arab sebagai dasar semua ilmu. Kini, ironisnya, ada lembaga yang mengaku pesantren tetapi dengan lantang menyatakan “kami bukan pesantren bahasa Arab.” Bagaimana mungkin lembaga Islam mengenyampingkan bahasa yang menjadi kunci khazanah Islam?
Bahasa Arab adalah miftah—kunci pembuka seluruh ilmu. Para ulama mewariskan fikih, tafsir, hadis, hingga ilmu kalam dalam bahasa Arab. Hilangnya kemampuan berbahasa Arab membuat umat kehilangan akses ke sumber asli ajaran Islam. Tanpa kunci itu, kita hanya berdiri di depan pintu perbendaharaan ilmu, tanpa bisa membukanya.
Keindahan bahasa Arab juga tidak dapat dipungkiri. Kisah sahabat Dimad al-Azdi menjadi bukti nyata. Ia datang ke Makkah dan mendengar Nabi Muhammad Saw berbicara. Setelah mendengar khutbah singkat Rasulullah, ia berkata: “Aku telah mendengar ucapan para dukun, penyair, dan tukang sihir, tetapi aku belum pernah mendengar ucapan seperti ini.” Seketika ia masuk Islam (HR. Muslim, no. 868). Inilah kekuatan bahasa Arab yang memikat hati dan akal sekaligus.
Tantangan kita hari ini bukan lagi dari penjajah, tetapi dari sikap abai internal. Banyak lulusan jurusan bahasa Arab yang justru tidak fasih berbahasa Arab. Banyak pula orang tua yang minder ketika anaknya belajar di ma’had bahasa Arab. Padahal, para orang tua itu sebenarnya sedang menanam investasi besar bagi agama dengan mendukung anak-anak mereka menguasai bahasa wahyu.
Karena itu, membangun kembali tradisi bahasa Arab adalah tugas bersama. Orang tua, guru, dan alumni pesantren mesti menghidupkan bahasa Arab bukan sekadar sebagai pelajaran di kelas, melainkan sebagai budaya. Imam Syafi’i dalam al-Risalah (cet. Dar al-Ma‘rifah, hlm. 47) menyebut bahasa Arab sebagai bahasa yang paling luas dan paling kaya kosakatanya. Maka, siapa yang menguasainya akan lebih mudah memahami agama dengan benar.
Bahasa Arab bukan hanya ilmu, tetapi identitas umat Islam. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, maka Allah akan memahamkannya dalam urusan agama” (HR. Bukhari-Muslim). Pemahaman agama ini tidak mungkin dicapai tanpa bahasa Arab, sebab ia adalah kunci utama.
Di hadapan realitas ini, kita harus bertanya: apakah kita akan menjadi generasi yang menjaga bahasa Arab, atau justru menjadi generasi yang membiarkan kunci itu berkarat? Umat Islam harus bangga menguasai bahasa Arab, karena dengannya kita menjaga warisan Nabi Saw sekaligus membuka jalan menuju pemahaman agama yang benar.
Bahasa Arab adalah bahasa abadi, bahasa wahyu yang akan kekal hingga akhir zaman. Selama Islam tegak, bahasa Arab tidak akan hilang. Tugas kita hanyalah memastikan, generasi kita tidak kehilangan kunci kebangkitan Islam itu. Wallahu Ta’ala A’lamu bis shawab.[]
Muhammad Fitrianto, S.Pd.Gr, Lc, M.A, M.Pd, C.ISP, C.LQ., Pendidik di SMAIT Ar Rahman Banjarbaru.