Bahaya Takut
Akan tetapi pemimpin-pemimpin umat di waktu itu maju ke depan, dengan tombak bukan dengan meriam, dengan senjata-senjata yang sederhana. Tidak selamanya mereka itu mendapat kemenangan. Lebih banyak mereka itu kalah menghadapi kekuatan-kekuatan lahir yang besar. Kita membaca dari sejarah nama-nama dari pahlawan-pahlawan yang kita anggap pahlawan sekarang. Ada namanya Pangeran Diponegoro yang membawa bendera Bulan Sabit yang bertuliskan kalimat syahadat, dengan tenaga laskar yang sangat sederhana, lalu menantang pemerintah Belanda yang kekuatan senjata dan prajuritnya yang besar. Dia kalah, dia tertangkap dan dia dibuang ke luar daerahnya. Kita membaca pula dalam sejarah seorang pahlawan yang bernama Tuanku Imam Bonjol. Dikumpulkannya pula tenaga umat yang banyak itu untuk melawan Belanda. Diapun kalah, dia tertangkap dia dibuang lagi ke negeri dimana dia meninggal. Sekarang kita memperingati mereka itu sebagai pahlawan.
Kenapa Pahlawan-Pahlawan Islam yang Gugur itu Kita Peringati?
Kenapa kita memperingati mereka itu sebagai pahlawan-pahlawan, padahal mereka itu kalah? Kita memperingati Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro, dengan menamai universitas-universitas yang besar-besar dan bagus dengan nama-nama mereka.Kalau ada di kota kita jalan yang paling bagus diberi nama Jalan Diponegoro, jalan Imam Bonjol. Kalau kita mengadakan satu yayasan , maka kita beri nama yayasan Imam Bonjol dan lain-lain. Banyak nama-nama seperti itu, padahal itu nama dari pemimpin-pemimpin yang ‘kalah’ dalam perjuangannya.
Kenapa orang yang kalah itu kita peringati sebagai pahlawan? Dimana terletak rahasianya ini? Bukankah itu merupakan satu hal yang bertentangan atau paradox kata orang. Orang itu kalah, tertangkap kemudian dianggap sebagai pahlawan. Di dalam memperingati beliau-beliau itu bukankah akan sangat janggal, bila kita memperingati kekalahan-kekalahan dan kegagalan-kegagalan.
Akan tetapi jiwa kita toh tidak menerima itu sebagai kekalahan. Kita bangga walaupun mereka kalah. Apa intisarinya daripada peringatan yang demikian?
Mereka berhasil mencabut wahn dan menumbuhkan keberanian di dalam jiwa umat.
Saudara-saudara,
Mereka kalah dalam arti lahiriahnya. Mereka menang dalam satu hal yaitu menumbuhkan keberanian di dalam jiwa umat Islam yang sudah diliputi oleh jiwa hubbuddunya wa karahiyatul maut. Dicabutnya dari jiwa umat karahiyatul maut itu, lalu ditanamkannya keberanian kembali untuk melawan kezaliman. Di sini terletak kemenangan mereka. Diinvestasikannya ke dalam jiwa umat Muhammad di Indonesia ini rasa keadilan untuk melawan kezaliman. Ditanamkannya kerelaan untuk mengorbankan harta benda dan jiwa untuk mencapai cita-cita yang besar.
Di sini terletak kemenangannya, dan investasinya itu ibarat orang-orang yang punya modal terus berkembang, terus bertambah besar meluas di kalangan rakyat. Satu contoh yang baik, lalu cepat ditiru oleh kawan-kawan yang lain. Tumbuh dalam jiwa pribadi-pribadi umat Islam itu keberanian untuk melawan yang bathil dalam menghadapi dan menegakkan haq. Walaupun pahlawan-pahlawan penyebar benih keberanian sudah meninggal dunia. Lahiriahnya mereka itu kalah, tetapi yang ditanamkannya berupa keberanian mempertahankan yang haq tawakkal kepada Allah SWT tanamannya itu hidup terus, sesudah mereka meninggal dunia. Satu kali benih keimanan kepada Allah SWT itu tumbuh, dia akan mekar, walaupun orang tidak melihat pada zahirnya. Satu kali dia dapat diliputi oleh awan, dia tidak kelihatan, tetapi pada satu waktu dia akan megah kembali.
Sehabis Perlawanan Bersenjata Timbul Perlawanan Bentuk Baru
Setelahnya perlawanan dengan mengadu kekuatan senjata, perlawanan dengan kekuatan lahiriah itu berakhir, maka tumbuhlah modal yang ditanam oleh pemimpin-pemimpin pujangga Islam itu, tumbuh dalam bentuk yang lain.
Marilah kita melihat perkembangannya secara ringkas, sesudahnya perjuangan Diponegoro, Imam Bonjol dan lain-lainya itu patah. Apa yang terjadi di negeri kita ini? Baik sekali jikalau kita mengingat-ingatkan itu dan saudara-saudara generasi muda baik sekali membacakan sejarah Indonesia itu kembali. Sebab sekarang ini sering sekali (kalau kita tidak awas) timbul kesan bahwa kita umat Islam di Indonesia ini boleh dikatakan sudah lupa pada sejarah. Dan memang banyak pula orang yang senang kalau kita tidak tahu akan sejarah kita sendiri.