Bansos untuk Judol, Rakyat Tersandera Kapitalisme

Dana bantuan sosial (bansos) kembali menjadi sorotan. Menteri Sosial, Saifullah Yusuf, mengatakan bahwa ada dugaan sebanyak 571 ribu orang penerima bansos ikut bermain judi online (judol) dengan nilai transaksi mencapai hingga Rp975 miliar. Dugaan ini muncul setelah mencocokkan data penerima bansos dengan data pemain judol milik Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dari 28,4 juta nomor induk kependudukan (NIK) penerima bansos, 571 ribu diduga sebagai pemain judol.
Mensos juga menyebutkan bahwa 517 ribu tersebut setara dengan 2 persen dari jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) bansos tahun lalu. Yang lebih mengejutkan, temuan tersebut baru pengecekan data penerima bansos dari satu bank BUMN saja, belum dari bank lainnya (CNNIndonesia.com, 11 Juli 2025).
Penerima bansos dalam pusaran judol mencerminkan kondisi ekonomi rakyat yang makin buruk. Ya, tidak dapat dimungkiri rakyat tercekik kondisi ekonomi hari ini. Harga kebutuhan pokok terus melonjak tinggi, sedangkan pendapat justru terus menurun. Gelombang PHK yang terus menghadang juga membuat angka pengangguran bertambah tinggi. Keadaan ini tak ayal lagi membuat masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi kelompok rentan.
Di sisi lain, dana bansos yang diperoleh hanya mampu digunakan dalam hitungan hari saja. Selebihnya, masyarakat harus memutar otak untuk terus bertahan hidup. Tidak heran, jika tidak sedikit orang yang tak berpikir panjang, mencari jalan pintas untuk bertahan hidup, salah satunya dengan bermain judi online.
Kehidupan masyarakat yang makin sengkarut merupakan gambaran nyata kebobrokan sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi oleh negara untuk mengurus rakyat. Dalam naungan sistem berorientasi materi ini, segala cara dapat dihalalkan demi mendulang pundi-pundi keuntungan. Alhasil, tidak heran jika bisnis haram seperti perjudian mendapatkan tempat untuk tumbuh dan berkembang.
Kebobrokan sistem ekonomi kapitalisme juga tampak dari produksi dan distribusi kebutuhan pokok yang dimonopoli oleh pemilik modal. Sehingga tidak heran jika harga-harga kebutuhan pokok ini pun berada dalam cengkeraman kartel pangan. Kebutuhan publik yang dikomersialkan oleh para kapitalis inilah yang membuat rakyat susah mengaksesnya. Keadaan inilah yang mendesak rakyat tanpa berpikir panjang terjebak dalam pusaran judi online.
Sebagai negeri dengan penduduk mayoritas Muslim, sejatinya masyarakat paham bahwa hukum judi adalah haram. Sebuah keharaman niscaya mengantarkan pada kemudaratan. Namun, karena sistem kapitalisme yang menjadi penggawa dalam mengatur kehidupan rakyat hari ini, maka rakyat seolah tidak memiliki pilihan lain.
Ketika Allah SWT melarang perjudian, di saat yang sama Allah SWT juga memberikan seperangkat aturan yang paripurna untuk mengatur ekonomi masyarakat agar sejahtera dan tidak melakukan perjudian. Hal ini niscaya terwujud andai sistem ekonomi Islam diterapkan oleh negara.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Kitab Nidzamul Iqtishadi fil Islam menjelaskan bahwa politik ekonomi Islam adalah semata-mata merupakan pemecahan masalah utama yang dihadapi oleh setiap orang, sebagai manusia yang hidup sesuai interaksi-interaksi tertentu, serta memungkinkan orang yang bersangkutan untuk meningkatkan taraf hidupnya dan mengupayakan kemakmuran dirinya dalam gaya hidup tertentu.
Rasulullah Saw bersabda, “Siapa saja di antara kalian yang bangun pagi hari dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat, dan mempunyai makanan makanan pada hari itu, seolah-olah ia mendapatkan dunia.” (HR At-Tirmidzi). Berdasarkan prinsip tersebut, negara berkewajiban menjalankan berbagai syariat yang ditentukan oleh Asy-Syari’ untuk menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, termasuk dalam aspek ekonomi.
Negara wajib menjamin tersedianya lapangan kerja bagi setiap laki-laki dewasa dengan gaji yang layak. Sehingga laki-laki tersebut mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Andai ada satu saja laki-laki yang belum bekerja karena memang belum mendapatkan pekerjaan maka hal ini pasti akan diketahui oleh negara. Oleh karena itu, negara akan memberikan pekerja sesuai dengan kemampuannya.
Dari aspek jaminan ketersediaan lapangan pekerjaan saja rakyat dapat dipastikan merasakan kesejahteraan, karena mereka mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Selain itu, negara juga menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar publik seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara langsung. Semua kebutuhan tersebut dapat diakses oleh seluruh rakyat baik kelas bawah, menengah, atau atas secara berkualitas, mudah, dan murah bahkan secara cuma-cuma.