Batal Lagi ke Baitullah, Negeri Ini Butuh Pemimpin Amanah
Calon jemaah haji di negeri ini kembali dikecewakan. Pasalnya ini tahun ke dua pemerintah memutuskan untuk tidak memberangkatkan mereka untuk berhaji ke Baitullah.
Berbagai alasan pun dikemukakan, mulai lagu lama mengenai wabah Corona yang sebenarnya bisa diterapkan protokol kesehatan di dalamnya, belum diundangnya jemaah Indonesia oleh Kerajaan Arab Saudi, sampai hawar-hawar mengenai tagihan utang Indonesia yang belum dilunasi kepada Arab Saudi, juga dana haji yang masih diinvestasikan untuk infrastruktur.
Namun, berita di media mainstream dan antimeanstram bertarung hebat. Adanya saling memperkuat pendapat juga data. Beberapa tokoh publik juga menyampaikan suaranya melalui saluran media sosial, meminta kejelasan ke Pemerintah mengenai pertanggungjawaban dana Haji.
Warganet bahkan sempat membuat tagar #UsutTuntasDanaHaji di media sosial Twitter. Tagar tersebut lantas menjadi trending di Twitter Indonesia. (KompasTV/5/62021)
Menanggapi kekisruhan di masyarakat, Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Anggito Abimanyu menyampaikan bahwa dana para calon jamaah haji yang batal berangkat tahun ini aman. Kata Anggito, dana tersebut saat ini diinvestasikan di sejumlah bank Syariah.
Dia memaparkan bahwa tahun 2020 sebanyak 196.865 jamaah haji regular sudah melakukan pelunasan. “Dana yang terkumpul semuanya baik itu setoran awal dan setoran lunas itu Rp7,05 triliun, kemudian haji khusus telah melakukan pelunasan sebesar 15.084 jamaah, terkumpul dana baik itu setoran awal maupun setoran lunas 120,67 juta dollar,” tuturnya. (Sindonews.com/3/6/2021)
Namun sungguh sayang, kontroversi pengelolaan dana haji sudah sangat cukup menggambarkan pada masyarakat bahwa pemerintah hanya melihat unsur ekonominya saja dari pelaksanaan haji. Opsi pembatalan pemberangkatan haji demi mengokohkan investasi sangatlah niscaya dilakukan rezim yang tak peka dalam hati nurani. Padahal, esensi dari berhaji adalah ibadah seorang hamba pada penciptanya. Alih-alih mendorong umat untuk melaksanakan ibadah, yang ada malah dihambat dan dimanfaatkan.
Ini kontras dengan pelayanan haji dalam kepemimpinan Islam yang amanah. Sepanjang 14 abad sejarah peradaban Islam, sudah 40 kali pelaksanaan ibadah haji ditunda karena alasan wabah, perang hingga konflik politik. Untuk pertama kalinya ibadah haji ditutup pada 930 M saat ada pemberontakan kelompok Qarmatiah terhadap Kekhilafahan Abasiyah.
Penundaan haji karena wabah juga pernah terjadi pada 1831 ketika wabah cacar dari India yang membunuh 75 persen jemaah haji di Makkah. Wabah kembali melanda Makkah tahun 1837 sehingga ibadah haji 1837-1840 ditiadakan. (dikutip dari kitab Al Bidayah wan-Nihayah karangan Ibnu Katsir)
Jika Arab Saudi tahun lalu memutuskan untuk menutup Makkah karena wabah, justru tahun ini telah dipersilakan untuk berhaji dengan kuota yang telah ditentukan. Namun yang menjadi polemik pembatalan haji justru bukan pada keputusan kerajaan Arab Saudi, akan tetapi kurangnya lobi pemerintah negeri ini dan bercokolnya paradigma penguasa yang hanya menjadikan haji sebagai komoditas ekonomi yang patut dikoreksi.
Haji adalah sebuah kewajiban seorang hamba, maka bentuk pengaturan negara terhadap penyelenggaraan Haji semata untuk memfasilitasi seseorang untuk beribadah. Bukan untuk bisnis apalagi menjadi ajang perburuan rente penguasa.
Oleh sebab itu, pengelolaannya pun didasarkan pada asas bahwa pemerintah adalah pelayan yang mengurusi tuannya, bukan kapitalis yang sedang menghitung untung ruginya.