Bau Menyengat Politik Dinasti di Balik Putusan MA
Genderang pesta demokrasi kembali bertabuh. Usai Pilpres, Pilkada pun dimulai. Seakan mengulang kontroversi di Pilpres soal putusan MK tentang batas usia capres/cawapres. Kali ini MA mengeluarkan putusan yang mencabut batas usia kontestan Pilkada.
Putusan MA itu menanggapi permohonan hak uji materi (HUM) yang dilayangkan oleh Partai Garuda terhadap Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Terbilang singkat, hanya dalam tempo tiga hari setelah diterimanya berkas HUM, keputusan sudah keluar. MA mengubah ketentuan syarat usia calon kepala daerah yang semula “terhitung sejak penetapan pasangan calon” yaitu pada 22 September 2024 menjadi “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih” yaitu diperkirakan awal 2025. Untuk usia terendahnya masih sama yaitu 30 tahun untuk tingkat provinsi dan 25 tahun tingkat kota/kabupaten (tirto.id, 02/06/2024).
Serasa dejavu. Tak lama berselang kontroversi keputusan MK soal syarat usia capres/cawapres, kini MA pun utak-atik hal yang sama untuk calon kepala daerah. Bau menyengat politik dinasti pun menyeruak. Jika hasil putusan MK memuluskan Gibran si anak presiden menjadi cawapres. Maka putusan MA diduga kuat menjadi karpet merah bagi Kaesang, putra bungsu presiden menjadi kontestan di Pilkada 2024.
Putusan MA ini menuai kritikan. Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai bahwa pertimbangan dan amar putusan MA ini bermasalah. Preseden buruk Pemilu 2024, berlanjut di Pilkada, demi kepentingan sejumlah pihak tertentu (okezone com, 02/06/2024).
Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti merasa aneh dengan putusan MA ini. Mengapa harus direvisi saat proses menuju Pilkada 2024 sedang berlangsung? Mengapa caranya potong-potong kompas, tidak menempuh jalur revisi yang semestinya? Tidakkah ini mengindikasikan ada kepentingan politik kelompok tertentu?
Hal senada diungkapkan oleh pakar hukum tata negara Bivitri Susanti. Bivitri adalah salah satu narasumber di film “Dirty Vote”, film yang viral jelang Pemilu 2024 lalu, mengungkap dugaan kecurangan Pemilu. Bivitri mengkritik penalaran hukum yang menurutnya tidak wajar dalam putusan MA, bahkan “sudah keluar dari tugas konstitusional MA“. (bbc.com, 02/06/2024).
Kritik pedas dan tajam datang dari eks Menkopolhukam RI sekaligus mantan Ketua MK, Mahfud MD. Di akun YouTube pribadinya, Mahfud mengomentari cara berhukum negeri ini yang sudah rusak dan dirusak. “Teruskan saja, mumpung Anda masih punya posisi. Tapi suatu saat itu bisa memukul dirinya sendiri ketika orang lain menggunakan cara yang sama.”, lanjutnya. (kumparan.com, 05/06/2024).
Apa yang disampaikan oleh Mahfud MD patut menjadi renungan kita. Supremasi hukum di negeri ini telah luluh lantak. Hukum bisa diutak-atik sesuai dengan kemauan pemangku kepentingan. Tak ada standar yang mampu mengembalikan hukum ke jalur yang benar. Sebab benar dan salah lagi-lagi diserahkan kepada manusia. Padahal kemampuan akal manusia terbatas.
Demikian ketika kehidupan manusia diatur oleh sistem sekuler kapitalisme. Agama yang seharusnya menjadi standar, justru dijauhkan dan difitnah kolot. Manusia pun didaulat sebagai pembuat aturan dan hukum. Akibatnya, produk hukum buatan manusia akan sarat dengan kepentingan pribadinya.
Sistem kapitalisme menjadikan materi dan segala kesenangan duniawi sebagai tujuan hidup. Alhasil, apapun akan dilakukan demi melanggengkan kekuasaan, meskipun harus mengangkangi hukum. Memang, empuknya kursi kekuasaan akan membuka kunci-kunci gudang kekayaan harta.
Laksana hidup di hutan rimba jika sistem sekuler kapitalisme ini terus dipertahankan. Yang kuat dan berkuasa akan terus jemawa dan memainkan tentakel gurita kekuasaannya. Sementara yang lemah akan tersingkir bahkan terbuang hingga akhirnya mati. Sungguh, sistem ini tidak manusiawi.