SUARA PEMBACA

Berantas LGBT dengan Perda, Solutifkah?

Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) atau dikenal dengan kaum pelangi, nyatanya tak seindah warna pelangi. Mereka justru menjadi ancaman bahkan sumber penyakit di tengah masyarakat. Sebagai negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, keberadaan kaum pelangi di negeri ini jelas menjadi perhatian serius yang kerap menimbulkan polemik.

Ironisnya, upaya membendung kaum pelangi seolah tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan gelombang kampanye untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Keberadaan kaum pelangi pun dapat ditemukan di mana saja mulai dari konten media sosial hingga pondok pesantren. Miris memang! Lalu, efektif dan solutifkah keberadaan peraturan daerah (perda) tentang pemberantasan kaum pelangi di beberapa daerah di Indonesia?

Wacana pembentukan perda untuk memberantas penyakit masyarakat, termasuk LGBT, di Ranah Minang tengah dikaji oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat (Sumbar). Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua DPRD Sumbar, Nanda Satria, di Padang pada Sabtu (4/1/2025).

Nanda juga mengatakan bahwa terdapat daerah di Provinsi Sumbar yang sudah lebih dulu membuat perda pemberantasan LGBT. Oleh karena itu, DPRD menilai pemerintah provinsi juga perlu melakukan hal serupa. Perda ini diharapkan mampu menjadi sebuah solusi untuk mengatasi penyakit masyarakat di daerah yang dikenal dengan filosofi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Menurutnya, perilaku menyimpang seperti LGBT berkaitan erat dengan HIV/AIDS. (antaranews.com, 4 Januari 2025).

Tidak hanya di Sumbar, Aliansi Pergerakan Islam Jawa Barat (API Jabar) dikabarkan juga mendorong pemerintah provinsi dan DPRD Jawa Barat untuk segera mengeluarkan aturan tegas untuk mengatasi perilaku menyimpang LGBT. Hal ini diungkapkan oleh Ketua API Jabar, Ustaz Asep Syaripuddin, sebagai respons atas informasi dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Barat yang mengungkapkan bahwa ada 9.625 kasus baru penyakit HIV. Mirisnya, jumlah kenaikan kasus HIV ini banyak ditemukan dari kaum LGBT. (suaraislam.id, 11 Januari 2025).

LGBT merupakan buah getir dari penerapan sistem sekuler atas negeri ini. Sistem ini melahirkan konsep hak asasi manusia (HAM) yang mendorong manusia untuk bebas menentukan kehendaknya sendiri, termasuk dalam menentukan orientasi seksualnya. Sistem ini nyata menumbuhsuburkan kemaksiatan bahkan menimbulkan berbagai penyakit sosial dan seksual di tengah masyarakat.

Munculnya perda pemberantasan LGBT dan dorongan dikeluarkannya perda pemberantasan LGBT di sejumlah daerah jelas patut diapresiasi. Keinginan baik ini tentu perlu kita dukung. Namun, kita pun menolak lupa bahwa perda-perda yang bermuatan agama ini kerap kali dipermasalahkan oleh pihak-pihak tertentu yang sarat dengan kepentingan.

Dalam bingkai sistem demokrasi-sekuler, perda yang bermuatan agama kerap kali menghadapi gelombang penolakan. Ya, dalam naungan demokrasi, bukan syarak yang menjadi acuan, melainkan HAM. Tidak heran jika perda bermuatan agama kerap kali dicap intoleran dan diskriminatif oleh para pengemban kebebasan, termasuk oleh kaum pelangi dan penyokongnya. Alhasil, mustahil memberantas LGBT jika aturan pemberantasan kaum pelangi ini tidak disokong dan diterapkan oleh negara.

Tampak jelas tidak ada tempat bagi penerapan sistem Islam secara komprehensif selama berada dalam kubangan sistem demokrasi-sekuler. Sistem yang tegak atas asas batil niscaya tidak akan mampu memberikan solusi tuntas atas permasalahan manusia, apalagi bersumber pada akal manusia yang lemah.

Kaum pelangi dan para penyokongnya niscaya hanya akan dapat diberantas hingga ke akarnya andai sistem Islam dapat diterapkan secara komprehensif oleh negara. Islam memiliki hukum syariah tertentu yang terkait dengan sistem pergaulan/sistem sosial yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan, serta orientasi seksualnya.

Misal, sebagai salah satu upaya preventif, Islam melarang tidur satu selimut baik antara laki-laki dan laki-laki maupun antara perempuan dan perempuan, sebagaimana sabda Baginda Rasulullah Saw, “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain. Seorang wanita tidak boleh melihat aurat wanita lain. Seorang laki-laki tidak boleh berkumpul di satu selimut/kain dengan laki-laki lain. Pun demikian dengan para wanita, tidak boleh seorang wanita berkumpul di satu selimut/kain dengan wanita lain.” (HR Muslim dan Tirmidzi).

Paradigma Islam juga memiliki mekanisme sahih dalam memberantas LGBT. Islam memandang bahwa perbuatan liwath (homoseksual) merupakan perbuatan yang jelas menyalahi fitrah. Perbuatan ini termasuk dalam dosa besar. Perbuatan keji yang mendatangkan laknat Allah SWT. Bahkan Al-Qur’an dengan jelas mengabarkan bagaimana Allah SWT menghancurkan kaum Nabi Luth as atas perbuatan liwath ini (QS. Hud [11]: 82). Bukti, bahwa Islam tidak pernah mengakui keberadaan kaum pelangi dan mencela perbuatannya dengan sangat keras.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button