Berhati-hatilah dengan Anies Baswedan!
Sebagai gubernur, secara berkala Anies harus berurusan dengan kementerian di Ibu kota. Statusnya menjadi “orang daerah” yang lapor ke pusat.
Jadi pemindahan ibukota ini menjadi semacam kudeta tidak berdarah terhadap Anies.
Kedua, dari sisi Ahok, sekutu dekat Jokowi. Pemindahan ibu kota menghidupkan kembali mimpi lamanya menjadi penguasa di ibu kota. Dia tak perlu menjajakan diri menjadi Wali kota Surabaya, atau Gubernur NTB.
Secara kalkulasi politik, sebelum Pilkada DKI 2017 langkah Ahok sebagai Gubernur DKI (2017-2022) nyaris tak terbendung. Namun gegara tersandung penistaan agama, semuanya berubah total.
Ahok dikalahkan Anies. Eksperimen dan skenario politik etnis Cina yang disokong penuh oleh para taipan, menjadi berantakan.
Andai saja dia memenangkan Pilkada DKI 2017, besar kemungkinan Ahok akan digandeng Jokowi sebagai cawapres. Bukan Ma’ruf Amin. Dengan posisi sebagai wapres, peluang Ahok mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2024 terbuka lebar.
Sayang eksperimen dan skenario politik yang berjalan sangat mulus, hasilnya sudah berada di depan mata itu, tiba-tiba menjadi berantakan.
Anies yang menjadi Gubernur DKI. Dialah sekarang yang paling berpeluang menjadi kandidat presiden. Bukan Ahok. Karena itu langkah Anies harus segera dibendung. Potong di tengah jalan.
Ketiga, dari kepentingan para taipan dan pengembang. Pemindahan ibukota membuka peluang para taipan dan pengembang raksasa untuk kembali menguasai lahan di jantung ibukota.
Mereka sudah lama menimbun harta karun. Tinggal menggalinya. Sebagian besar dari mereka sudah menguasai lahan yang akan menjadi ibukota baru.