Bersuci dengan Air, Debu dan Batu

Ketiga, al maau thaahirun fii nafsihi, ghairu muthahhirin li ghairihi. Maksudnya air yang suci zatnya, tidak dapat mensucikan bagi selainnya. Air ini dapat dikonsumsi karena suci tapi tidak dapat mensucikan najis dan hadas. Air ini terbagi menjadi dua yaitu:
Air musta’mal. Air yang sudah pernah digunakan dalam mensucikan najis dan hadas. Dengan syarat airnya tidak berubah sifat (warna, bau, rasa) dan tidak bertambah timbangannya setelah terpisah dari badan atau tempat yang disucikan (secara dugaan/perkiraan kuat). Syarat ini berlaku pada air yang sedikit, yaitu air kurang dari dua kullah (± 216 liter). Jika kondisi air banyak (lebih dari dua kullah) digunakan untuk mensucikan najis dan hadas dan tak menyebabkan sifat air berubah, maka bukan air musta’mal.
Air mutaghayyir. Air yang berubah setelah terikat atau bercampur dengan zat-zat suci (seperti teh, kopi, bunga dan sebagainya). Dengan pencampuran ini air tersebut tak layak lagi disebut sebagai air. Pendeteksian kondisi air dapat secara hissiyyan (inderawi) maupun taqdiiran (perkiraan). Secara hissiyyan terjadi perubahan jelas pada sifat air. Secara taqdiiran (perkiraan), misalnya ketika bercampur air mutlak dengan air musta’mal.
Keempat, air najis atau mutanajis. Air najis maksudnya air yang zatnya najis seperti air kencing. Air mutanajis maksudnya air yang kemasukan najis. Berlaku pada air sedikit, walaupun tak berubah sifat, juga pada air banyak yang sudah berubah sifat. Air jenis ini tak suci (tak bisa dikonsumsi), juga tak bisa mensucikan najis dan hadas.
Alat Bersuci Berupa Debu
Debu merupakan serbuk halus dan ringan dari tanah. Allah SWT menjadikan debu suci dan mensucikan. Sesuai hadis Rasulullah Saw:
وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
Dijadikan untukku tanah sebagai masjid (tempat shalat) dan untuk bersuci (HR. Bukhari)
Bersuci dengan debu disebut dengan tayammum. Terdapat beberapa kondisi yang diperbolehkan menggunakan debu dalam bersuci. Yaitu kondisi tidak ada air setelah dicari-cari sampai jarak 1,5 km dari keberadaannya. Kondisi sakit yang apabila terkena air dapat membahayakan. Serta kondisi kekurangan air yang lebih dibutuhkan untuk selain thaharah. Seperti untuk konsumsi manusia atau memberi minum hewan (yang dihormati menurut syara’) yang sedang kehausan. Allah SWT berfirman:
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا ٤٣
Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (QS. An Nisa ayat 43).
Untuk bertayamum debunya tidak boleh yang musta’mal dan tak boleh bercampur dengan zat lain kecuali pasir, kerikil, batu. Khusus untuk ibadah shalat, bertayammum hanya berlaku untuk satu kali shalat fardhu dan dilakukan saat waktu shalat sudah tiba.
Alat Bersuci Berupa Bahan yang Menyerap Kotoran
Bahan yang tergolong dapat menyerap kotoran seperti batu, kayu kering, daun kering, tisu, kertas, kain dan sebagainya. Bahan yang digunakan dalam keadaan suci. Umumnya bahan ini digunakan untuk mensucikan najis yang berasal dari kencing atau tinja. Dipersyaratkan najis yang disucikan yang belum kering, belum terkena air serta belum berpindah dari tempat keluarnya. Penggunaan bahan ini disunnahkan berjumlah ganjil. Wallahu a’lam bish-shawab. []
Desti Ritdamaya, Praktisi Pendidikan